JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak keras pengesahan revisi UU Minerba yang memuluskan agenda perampasan tanah rakyat, pengrusakan lingkungan, dan kooptasi institusi perguruan tinggi.
Menyikapi kebijakan revisi UU Minerba ini, Direktur YLBHI Muhammad Isnur menyampaikan beberapa catatan masalah di balik pengesahan kebijakan tersebut. Pertama, pembahasan revisi UU Minerba ugal-ugalan.
“Pengesahan revisi UU Minerba dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Proses pembahasannya tidak transparan dan minim kajian mendalam terkait dampak sosial, lingkungan, dan akademik. Hal ini kian mencerminkan watak pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan rakyat,” ujar Isnur, dalam keterangan persnya, Rabu (19/2/2025).
Menurut Isnur, pengesahan revisi UU Minerba ini juga dinilai sebagai penundukkan kampus dan pengekangan kebebasan akademik, seperti yang tercantum dalam Pasal 75A.
Revisi UU Minerba memperlihatkan bagaimana kampus diarahkan untuk menjadi klien dalam mekanisme penerima manfaat dari perusahaan tambang. Dengan adanya celah hukum yang memungkinkan kampus terlibat dalam bisnis pertambangan, dunia pendidikan semakin dikomersialisasi,” ungkapnya.
Isnur menilai, kampus bukan lagi tempat mencari ilmu demi kepentingan rakyat untuk secara aktif menjawab masalah-masalah sosial, melainkan menjadi mesin produksi tenaga kerja yang melayani kepentingan pasar khususnya industri tambang.
Dunia pendidikan akan didorong untuk semakin berkontribusi pada optimalisasi profit bisnis tambang. Ini memperparah kecenderungan pendidikan tinggi yang sudah lama terjebak dalam logika bisnis dan komersial,” katanya.
“Penundukan kampus bukan hanya membungkam sikap kritis akademisi, tetapi juga membuat kampus semakin tunduk pada mekanisme pasar.”
Akibat dari kebijakan ini, biaya pendidikan menjadi semakin tidak menentu, bergantung pada fluktuasi produksi dan penjualan hasil tambang. Ini memperburuk aksesibilitas pendidikan tinggi bagi masyarakat yang kurang mampu.
Di pasal 75 revisi UU Minerba, kata Isnur akan berdampak meningkatkan risiko kekerasan dan pelanggaran HAM, serta konflik horizontal.
Fakta di lapangan, industri pertambangan selama ini telah mengakibatkan pelanggaran HAM, mulai dari perampasan lahan masyarakat, kriminalisasi aktivis lingkungan, hingga konflik sosial.
“Dengan keterlibatan kampus dalam bisnis tambang, mahasiswa dan akademisi yang menentang kebijakan ini berisiko menjadi sasaran represi. Kekerasan terhadap masyarakat terdampak tambang juga akan semakin meningkat seiring dengan perluasan eksploitasi sumber daya alam,” katanya.
Revisi UU Minerba ini juga tetap mempertahankan ormas keagamaan sebagai subjak yang bisa mendapatkan IUPK. Situasi di lapangan, konflik yang muncul dalam gerakan penolak tambang sering terjadi antara negara-perusahaan vs warga.
“Pemberian IUPK akan memperluas subjek yang dapat berkonflik dengan warga, yaitu anggota-anggota ormas keagamaan,” jelasnya.
Selain itu, revisi dinilai YLBHI sebagai upaya mempertahankan kriminalisasi. Revisi UU Minerba seharusnya mengubah pasal-pasal bermasalah dalam UU sebelumnya.
UU Minerba yang baru saja disahkan masih mempertahankan ketentuan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya serta sistem perizinan yang ditarik ke pusat, yang justru menjauhkan akses layanan publik dari masyarakat terdampak. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam yang merugikan mereka,” jelasnya.
Terakhir, dalam kajian YLBHI di pasal 17A juga menunjukkan bahwa memudahkan perampasan tanah. Di dalam revisi ini, DPR memasukkan pasal baru mengenai pertimbangan tata ruang.
Pasal 17A menyebutkan: “dalam hal belum terdapat penetapan tata ruang dan/atau kawasan, penetapan WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menjadi dasar bagi penetapan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan.” Pasal ini akan mengacak-acak prinsip penataan ruang harus sesuai dengan kepentingan umum.
“Dengan adanya pasal ini, penataan ruang suatu wilayah/daerah dapat disesuaikan dengan titik-titik tambang, tidak peduli apakah titik itu berada di area pemukiman atau lahan warga,” ungkap Isnur.
Ke depan, perampasan tanah petani dan masyarakat pedesaan dapat dengan mudah dilakukan atas dasar “area ini tidak cocok untuk pemukiman atau kegiatan bertani karena terdapat kandungan batubara di bawahnya”.
Editor : D.Wahyudi