Hukum

Skandal Hukum di Makassar: Oknum Jaksa & Polisi Diduga Jual-Beli Keadilan

14

MAKASSAR_HARIANESIA.COM_Di tengah upaya Kejaksaan Agung dan Kapolri membangun citra positif di mata publik, justru di Kota Makassar muncul noda hitam yang nekat ditorehkan oleh segelintir oknum jaksa dan polisi. Demi kepentingan “doee…!!!”, mereka diduga tega mencoreng institusi penegak hukum yang seharusnya berdiri tegak membela kebenaran.

Kasus ini mengingatkan publik pada perkara kelas kakap ala Djoko Tjandra, namun versi Makassar. Bayangkan, seorang pelapor yang seharusnya dilindungi hukum justru diputarbalikkan statusnya menjadi terdakwa. Adalah Daeng Aco, lelaki Makassar yang sejak 2019 melaporkan dugaan penipuan dan penggelapan melalui LP/321/POLDA SULSEL/2019/RESTABES MKSR. Namun, alih-alih mendapatkan keadilan, perkaranya justru “dipeti-eskan” oleh oknum jaksa penuntut umum dan penyidik, diduga kuat karena ada pesanan pihak tertentu yang berkantong tebal.

Tiga kali status buronan (DPO) dicabut, tiga kali pula berkas dinyatakan lengkap (P.21), tetapi perkara tidak pernah menyentuh ruang sidang. Skandal bolak-balik berkas antara kepolisian dan kejaksaan ini menjadi cermin betapa hukum bisa “diperdagangkan” di atas meja.

 

Kini, Daeng Aco korban kriminalisasi hukum justru harus duduk di kursi terdakwa dengan nomor perkara 889/Pid.Sus/2025/PN.Mks. Dari balik jeruji besi, ia lantang bersuara

“Saya Aco, saya adalah korban kriminalisasi hukum dan penyelewengan keadilan oleh oknum penyidik Polda Sulsel bersama oknum jaksa penuntut umum.”

Pernyataan itu direkam seorang wartawan online Makassar, yang menyebut kalimat tersebut layak diviralkan agar publik tahu salah satu alasan warga Makassar pernah kompak membakar kantor DPRD: kecewa pada institusi penegak hukum.

Lebih jauh, terungkap adanya dua surat penetapan tersangka berbeda: pertama, menetapkan tiga orang tersangka; kedua, secara misterius hanya menyisakan nama Lau Tjiop Djin alias Daeng Aco. Penetapan kedua ini disebut-sebut ilegal, dibuat diam-diam demi menutup peluang upaya praperadilan.

Padahal, menurut pakar hukum dan referensi KUHAP:

Penetapan tersangka harus berdasar minimal dua alat bukti sah.

Seseorang hanya bisa ditetapkan sekali sebagai tersangka dalam perkara yang sama.

Penerbitan dua penetapan berbeda adalah cacat prosedur dan bisa dibatalkan lewat praperadilan.

Kasus ini mempertegas pepatah getir: “Hukum hanya membela kepada yang membayar.”

Kini publik menanti, apakah suara lantang Daeng Aco diperkuat sorotan netizen akan sampai ke telinga Kapolri dan Jaksa Agung, yang sedang berjuang membangun kembali kepercayaan rakyat pada institusi penegak hukum.

Masyarakat Makassar menyerukan, saatnya menolak kriminalisasi dan menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Karena bila hukum bisa diperdagangkan, maka keadilan hanya akan jadi milik mereka yang berduit.(Levi)

Exit mobile version