Depok_HARIANESIA.COM_ Agenda “Ngopi Bareng Media Refleksi Akhir Tahun 2025” yang digelar DPRD Kota Depok, Jawa Barat, menuai sorotan dan pertanyaan. Pasalnya, berdasarkan surat undangan yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Kota Depok, Ade Supriyatna, itu hanya mengundang segelintir media dan organisasi tertentu.
Berdasarkan surat undangan berkop DPRD Kota Depok tertanggal 24 Desember 2025, acara tersebut dijadwalkan berlangsung pada Senin, 29 Desember 2025, pukul 11.00–12.00 WIB, bertempat di Ruang Badan Musyawarah DPRD Kota Depok, Jalan Boulevard Sektor Anggrek, Grand Depok City.
Dalam undangan bernomor 005/678-DPRD yang bersifat “penting” dan ditandatangani langsung oleh Ketua DPRD Kota Depok, disebutkan bahwa setiap media atau organisasi hanya diperbolehkan mengirimkan dua orang perwakilan.
Namun, yang menjadi sorotan publik, undangan tersebut hanya ditujukan kepada 13 pihak dari unsur media dan organisasi tertentu. Sejumlah media dan organisasi atau komunitas lain di Kota Depok tidak tercantum dalam daftar undangan.
Situasi ini memunculkan pertanyaan terkait komitmen DPRD Kota Depok terhadap prinsip keterbukaan informasi publik, terutama karena agenda yang diangkat adalah refleksi kinerja lembaga legislatif yang semestinya terbuka untuk pengawasan publik seluas-luasnya.
Hingga berita ini dipublikasikan, Sekretaris DPRD Kota Depok, Kania Parwanti, belum memberikan penjelasan. Pesan konfirmasi yang dikirimkan melalui aplikasi WhatsApp hanya menunjukkan tanda dua centang abu-abu, atau sekadar terkirim tanpa respons.
Padahal, praktik membatasi akses media dalam kegiatan resmi lembaga negara berpotensi menimbulkan persepsi negatif dan kecurigaan publik terhadap transparansi kinerja wakil rakyat.
Sebelumnya, aktivis Hotman Samosir, ketika dimintai tanggapannya, menanggapi dengan santai namun bijak, bahwa arus informasi dari pemangku kepentingan publik tidak boleh dibatasi dengan hanya mengundang segelintir media.
Menurut Samosir, informasi yang bersumber dari lembaga negara harus dapat diakses oleh media secara beragam, bukan hanya oleh media tertentu yang “dipilih”.
Ia juga menekankan bahwa kesempatan untuk melakukan pendalaman informasi, diskusi dan wawancara tidak bisa dilegitimasi seolah-olah sudah terwakili hanya dengan kehadiran beberapa media saja.
Praktik semacam ini, kata Hotman Samosir, berpotensi menimbulkan kontroversi dan diduga bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers serta prinsip keterbukaan informasi publik.
Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik secara tegas mengamanatkan bahwa badan publik wajib membuka akses informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
Pembatasan undangan media dalam kegiatan resmi DPRD Kota Depok dinilai tidak sejalan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas lembaga dan pemerintah.
“Publik sangat wajar bertanya-tanya, refleksi akhir tahun seperti apa yang ingin disampaikan DPRD Kota Depok jika ruang dialognya justru dibatasi sejak awal,” tutur Hotman Samosir.
Menurutnya, sebagai wakil rakyat, DPRD semestinya membuka ruang komunikasi yang setara bagi seluruh media, bukan memilih-milih pihak yang diundang dalam forum resmi, apalagi menggunakan fasilitas yang dibayar dari pajak rakyat.
“Sebaiknya, praktik seperti ini jangan terus dibiarkan lah, dikhawatirkan akan melanggengkan budaya eksklusivitas informasi dan memperlemah fungsi kontrol publik terhadap lembaga legislatif,” pungkasnya.
Refleksi akhir tahun seharusnya menjadi momentum evaluasi terbuka, bukan acara tertutup yang hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu. (Tim)
