Investigasi

Raibnya Dana Ketahanan Pangan Desa Wonokerto Wetan?, Polemik, Pertanggung jawaban, dan Sorotan Publik Menguat

Pekalongan — Polemik menyelimuti penggunaan Dana Ketahanan Pangan Desa Wonokerto Wetan, Kecamatan Wonokerto, menyusul raibnya hewan ternak dan mandeknya program peternakan yang dibiayai dari anggaran tahun 2022 dan 2023.

Total dana yang terserap mencapai Rp 180.259.300, dialokasikan melalui beberapa tahap untuk pembangunan kandang serta pengadaan kambing sebagai program peningkatan produksi peternakan.

Namun hingga kini, kambing sudah tidak ada, sementara yang tersisa hanya bangunan kandang yang mangkrak.
Sabtu, 11/11/2025.

Anggaran Mengalir dalam Tahap-Tahap, Hasil Tidak Terlihat

Dalam APBDes 2022, program peternakan memperoleh pendanaan untuk pembelian alat produksi, pengelolaan kebutuhan kandang, serta penguatan ketahanan pangan.

Tahun 2023, alokasi berlanjut dalam dua tahap. Meski anggaran terserap signifikan, hasilnya tidak berbanding lurus.

Warga menyebut sejak awal kambing dirawat oleh tim pendukung Kepala Desa. Lokasi kandang pun sempat beberapa kali berpindah, terakhir berada di sekitar area tower desa.

“Jumlah awalnya saya kurang paham. Tapi terakhir saat masih di kandang dekat tower, sekitar 11 ekor. Tiga disembelih, sebagian mati, dan ada yang terjual,” ungkap seorang warga.

Ia juga mengaku tidak pernah melihat mesin pencacah pakan, padahal pengadaannya termasuk dalam anggaran. “Pakan ya rumput biasa, tidak ada fermentasi. Biaya kandang katanya sekitar Rp 30 juta,” tambahnya.

Pengakuan Kepala Desa: 50 Ekor Dibeli, Semuanya Kini Habis

Saat dikonfirmasi media, Kepala Desa Wonokerto Wetan, Nazir Aziz, mengakui bahwa program tersebut gagal menghasilkan output yang diharapkan.

“Awal pembelian kambing sejumlah 50 ekor secara bertahap, harga per ekor satu juta. Kandang sekitar Rp 50 juta. Memang kambing sudah habis karena sakit lalu mati, ada yang disembelih dan ada juga yang terjual,” jelas Kades.

Nazir juga menyatakan bahwa anggaran tidak hanya untuk kambing dan kandang, tetapi mencakup pembelian mesin pencacah pakan serta honor perawatan. Sistem kerja sama perawatan pun berubah dari gaji tetap menjadi bagi hasil.

Namun pernyataan ini justru memunculkan lebih banyak tanda tanya publik: mengapa tidak ada dokumentasi yang jelas, laporan kerugian ternak, ataupun bukti penggunaan alat produksi dan pakan?

Ketidakefektifan Program dan Pertanyaan Besar soal LPJ

Program ketahanan pangan desa sejatinya dirancang sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penguatan ekonomi desa. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan ketidakefektifan, ketidaktepatan sasaran, dan minimnya nilai manfaat bagi masyarakat.

Sorotan kini tertuju pada:

Pertanggungjawaban Kepala Desa selaku pengguna anggaran desa (PA).
Peran Inspektorat dan lembaga pengawas lainnya dalam melakukan audit obyektif.
Transparansi dan keabsahan LPJ dari penggunaan dana tahun 2022 dan 2023.
Publik menilai penggunaan anggaran terlihat hanya memenuhi formalitas di dokumen, tetapi tidak menghasilkan output riil di lapangan.

Dasar Hukum yang Relevan

Berbagai ketentuan mengatur penggunaan dana desa, termasuk:

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 26 ayat (4): Kepala Desa wajib “melaksanakan prinsip tata kelola pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien.”

Pasal 27: Kepala Desa bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan desa.

PP Nomor 11 Tahun 2021 (Perubahan PP 43/2014)
Mengatur tata cara penyusunan APBDes dan penggunaan Dana Desa untuk program pemberdayaan masyarakat—termasuk ketahanan pangan.

Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Pasal 2 dan 3: Pengelolaan keuangan desa harus transparan, akuntabel, partisipatif, serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran.

Pasal 40–41: Penyusunan dan pertanggungjawaban APBDes wajib disertai bukti fisik, administrasi, dan kegiatan yang dapat diverifikasi.

Permendes PDTT Nomor 7 Tahun 2023 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa
Ketahanan pangan menjadi prioritas nasional, termasuk peternakan. Kegiatan harus memiliki manfaat nyata bagi desa.

UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Menjadi rujukan apabila ditemukan indikasi:

Penyalahgunaan wewenang,

Kerugian keuangan negara,

Perbuatan melawan hukum dalam penggunaan anggaran.

Publik Mendesak Audit dan Transparansi

Raibnya kambing, mangkraknya kandang, ketidakhadiran alat produksi yang dijanjikan, serta tidak jelasnya mekanisme bagi hasil maupun laporan kerugian, semuanya menjadi alasan kuat bagi publik untuk meminta audit menyeluruh dari Inspektorat maupun Kejaksaan Negeri.

Kepala Desa sebagai pemegang kewenangan anggaran dinilai lalai dalam memastikan efektivitas penggunaan dana desa yang semestinya memiliki nilai manfaat dan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Desa (PADes).

Masyarakat berharap persoalan ini tidak berhenti hanya pada klarifikasi, tetapi benar-benar ditindaklanjuti dengan pemeriksaan akuntabel demi menjaga integritas pengelolaan Dana Desa.

Mariyo

Exit mobile version