Edukasi

PPL Jadi Bendahara, Cermin Lemahnya Komitmen Pemda Aceh Timur Wujudkan Swasembada Pangan

Dok;ilustrasi

Aceh Timur_HARIANESIA.COM_Penunjukan seorang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai Bendahara Pengeluaran di lingkungan Dinas Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh Timur menimbulkan keprihatinan serius. Kebijakan ini dinilai tidak hanya menyalahi aturan kepegawaian, tetapi juga menunjukkan lemahnya itikad baik Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dalam mendukung cita-cita besar Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan swasembada pangan nasional.

PPL sejatinya adalah garda terdepan pertanian, ujung tombak yang berinteraksi langsung dengan petani, kelompok tani, dan lembaga penyuluhan di lapangan. Mereka berperan penting dalam meningkatkan produktivitas, memperkuat sistem pangan lokal, dan memastikan program ketahanan pangan berjalan efektif. Namun kini, sebagian PPL justru dibebani tugas sebagai bendahara pengeluaran — sebuah jabatan teknis keuangan yang sama sekali tidak relevan dengan fungsi penyuluhan.

Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa sejak Juni hingga September 2025, kegiatan transaksi keuangan seperti Ganti Uang (GU) sempat terhambat akibat lambatnya penguasaan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) dan keterlambatan pemulihan akun bendahara. Akibatnya, pelaksanaan program dan kegiatan dinas menjadi tersendat.

Ironisnya, bendahara pengeluaran tersebut kini lebih sering mendampingi Plt Kepala Dinas saat turun ke lapangan atau menghadiri rapat, sementara tugas teknis keuangan seperti pembuatan SPM dan administrasi GU justru dibantu oleh pihak lain.

“Ini bentuk salah kelola ASN. PPL disibukkan urusan di luar fungsi pokoknya, sementara tanggung jawab keuangan dijalankan oleh orang lain. Akuntabilitas menjadi kabur,” ungkap salah satu sumber dari kalangan ASN penyuluhan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 162/PMK.05/2013 dan PP Nomor 45 Tahun 2013, jabatan bendahara pengeluaran harus diisi oleh ASN yang memiliki kompetensi teknis keuangan negara. Sementara PPL adalah jabatan fungsional yang diatur dalam peraturan tersendiri dan berfokus pada penyuluhan serta pendampingan petani.

Selain itu, menurut PermenPAN-RB Nomor 6 Tahun 2022, kinerja ASN kini dinilai melalui Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), bukan angka kredit. Pemberian tugas tambahan sebagai bendahara justru berpotensi menurunkan capaian kinerja PPL karena tidak sesuai dengan indikator tugas fungsionalnya.

Kebijakan ini juga disebut sebagai bentuk “kecolongan kebijakan”, karena terjadi di tengah situasi banyaknya PPL yang berpindah status dari pegawai daerah ke pegawai pusat di bawah koordinasi Kementerian Pertanian. Penempatan jabatan ganda ini dianggap tidak hanya mengacaukan struktur kepegawaian, tetapi juga mengabaikan arah kebijakan nasional yang sedang memperkuat peran penyuluh dalam mewujudkan swasembada pangan.

“Jika pemerintah daerah serius mendukung visi Presiden Prabowo tentang kemandirian pangan, maka PPL harus dijaga fokusnya. Mereka bukan bendahara, tapi penggerak utama di lapangan,” tegas seorang pemerhati kebijakan pertanian di Aceh Timur.

Sejumlah pihak kini mendesak Bupati Aceh Timur, bersama Inspektorat, BKPSDM, dan BPKK Aceh Timur, untuk segera melakukan evaluasi mendesak terhadap kebijakan ini. Evaluasi diharapkan mengembalikan peran PPL sebagaimana mestinya dan menegakkan prinsip “the right man on the right place” demi tata kelola ASN yang profesional, efektif, dan berpihak pada kepentingan nasional di sektor pangan. (LV)

Exit mobile version