Edukasi

PENOLAKAN NATAL HKBP CIKARANG – BUKTI KEGAGALAN NEGARA MEMELIHARA HAK KONSTITUSIONAL, BUKAN HANYA MASALAH ANTARWARGA

Bogor – Bayangkan ini: Anda hidup di rumah dengan sumur air yang sudah ada sejak lama. Setiap hari, Anda minum dari sana tanpa masalah – sampai satu hari, sekelompok tetangga datang dan berkata, “Jangan minum dari sumur ini! Kita tidak suka bau airnya!” Anda merasa takut, takut mereka akan melakukan sesuatu. Lalu, pemerintah datang dan berkata, “Tenang, kita akan sewa ruang di hotel terdekat agar Anda bisa minum air. Aman kok!”

Anda merasa lega bisa minum air, tapi ada rasa yang tidak nyaman: kenapa saya harus membayar (atau dipaksa) minum air di hotel, padahal sumur saya sendiri ada di rumah?

Perumpamaan ini adalah cerminan nyata yang dialami jemaat HKBP Cikarang. Ibadah Natal 2025 mereka yang seharusnya digelar di Rumah Doa – “sumur” yang seharusnya menjadi tempat aman – malah harus dipindahkan ke Hotel Lakeside Tel Cikarang pada Rabu (24/12/2025). Semua karena penolakan ganas, tekanan psikologis, dan intimidasi verbal dari sekelompok masyarakat pada 17 Desember 2025 yang lalu. Bila dilihat dari lensa hukum Indonesia, ini bukan hanya masalah antarwarga – tapi bukti kegagalan negara dalam memelihara hak konstitusional warga.

Hak Beragama Bukan Hak yang Harus Dijelaskan

Pertama, kita perlu mengingat: Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan beribadah sesuai agamanya. Pasal ini bukan “cikal bakal” yang bisa diabaikan ketika ada sekelompok masyarakat yang tidak setuju.

Peristiwa yang mengguncang terjadi pada 17 Desember 2025: sekelompok warga menolak keras pelaksanaan ibadah Natal di Rumah Doa jemaat dengan kata-kata yang menakutkan, membuat jemaat merasa tidak aman bahkan di tempat ibadah mereka sendiri. Situasi ini tidak hanya mengganggu ketertiban umum, tapi juga merupakan pelanggaran nyata terhadap Pasal 28E Ayat (1), sekaligus melanggar Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Ketenaganegaraan, yang menyatakan bahwa negara wajib melindungi kebebasan beragama tanpa diskriminasi.

Argumen bahwa penolakan ini adalah pelanggaran konstitusional tidak bisa ditolak – karena hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dipotong oleh keinginan sebagian masyarakat, apalagi tanpa dasar hukum.

Mengapa Negara Hanya Turun Sesudah Kerusakan Terjadi?

Yang paling mengganggu adalah ketidakproaktifan aparat dan pemerintah daerah. Setelah peristiwa 17 Desember, Staf Khusus Menteri Agama RI terpaksa turun langsung mendampingi, melakukan koordinasi dengan aparat agar ibadah bisa berjalan dengan aman.

Hanya pada hari ibadah sendiri (24 Desember), hadir lintas unsur: Pengurus Pusat Ormas Sayap salah satu Partai di Indonesia, rombongan Kementerian Agama RI, Kapolsek Sukasari, TNI Babinsa, FKUB, dan Camat Serang Baru. Kehadiran mereka memastikan ibadah berjalan penuh sukacita – tapi terlambat. Mengapa mereka tidak mendeteksi ancaman sejak awal? Mengapa tindakan intimidasi tidak dicegah sebelum jemaat merasa tidak aman di tempat ibadah mereka sendiri?

Ini menunjukkan kegagalan dalam pencegahan dan penanggulangan intoleransi yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Intoleransi Beragama. Peraturan ini menuntut pemerintah daerah dan aparat untuk proaktif mengidentifikasi potensi konflik beragama, bukan hanya datang saat situasi sudah memburuk. Jemaat yang harus pindah ke hotel adalah korban dari kegagalan sistem ini – mereka tidak “memilih” lokasi alternatif, tapi dipaksa karena negara tidak bisa melindungi tempat ibadah mereka.

“Ibadah dapat berjalan sembari proses negosiasi berjalan,” ujar Gugun Gumelar, Staf Khusus Menteri Agama RI. Meskipun kata-katanya menenangkan, jaminan ini tidak menyembunyikan kenyataan bahwa jemaat menjadi korban dari kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Perizinan Rumah Ibadah: Hambatan yang Tidak Perlu

Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah perlunya mempercepat proses perizinan (PBG) rumah ibadah HKBP Cikarang. Ini bukan masalah kecil – banyak kasus intoleransi beragama di Indonesia diawali oleh hambatan dalam proses perizinan rumah ibadah.

Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan, proses perizinan harus berjalan cepat dan transparan, tanpa hambatan semata-mata karena keberatan sebagian masyarakat. Jika proses PBG sudah selesai jauh sebelumnya, kemungkinan penolakan seperti yang terjadi pada 17 Desember bisa diminimalkan. Jadi, pertanyaan tajamnya: apakah hambatan perizinan ini sengaja dibuat, atau hanya karena ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menegakkan hukum?

Ibadah Natal HKBP Cikarang yang berjalan di hotel bukanlah keberhasilan – melainkan tanda nyata bahwa peraturan yang ada (terutama yang terkait perizinan rumah ibadah dan penanggulangan intoleransi) telah mengancam keragaman dan kebersamaan anak bangsa. Semua itu bertentangan dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945 yang menjadikan keberagaman sebagai kekuatan bangsa.

Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan tindakan tegas SEGERA: mencabut atau merevisi semua peraturan yang tidak sesuai dengan konstitusi, terutama yang menjadi pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama. Jangan biarkan peraturan menjadi alat untuk menindas kelompok minoritas.

Ini juga adalah saatnya untuk mengingatkan janji-janji politik Presiden Prabowo Subianto saat pilpres yang lalu – di mana beliau menjanjikan untuk melindungi semua warga tanpa memandang agama, suku, atau golongan, serta memperkuat persatuan bangsa di tengah keberagaman. Janji itu tidak boleh hanya omong kosong – harus diwujudkan dengan tindakan tegas yang melindungi hak-hak warga, termasuk jemaat HKBP Cikarang yang telah merasa terancam.

Karena pada akhirnya, keberhasilan negara tidak diukur dari seberapa banyak ibadah yang bisa berjalan di lokasi alternatif – tapi dari seberapa aman setiap warga menjalankan hak beragama di tempat yang mereka pilih, dan seberapa kuat keragaman dan kebersamaan anak bangsa tetap terjaga.

Penulis: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia dan Wasekjen Ormas Partisipasi Kristen Indonesia Periode 2021-2026

Exit mobile version