Jakarta – Isu dugaan praktik markup anggaran dan gratifikasi dalam proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) di Gedung Baru Walet RSUD Dr. Abdul Rivai, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, mencuat ke ruang publik.
Proyek yang menggunakan anggaran Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tersebut disebut-sebut bernilai hingga ratusan miliar rupiah, sehingga memantik perhatian masyarakat dan pemerhati kebijakan publik.
Pengadaan alkes di RSUD Dr. Abdul Rivai diduga bermasalah. Sejumlah sumber menyebut adanya penggelembungan harga (markup) serta dugaan pemberian fee hingga 6 persen dari vendor kepada oknum tertentu.
Salah satu item yang menjadi sorotan adalah pengadaan alat ICU sebanyak 13 unit, yang disebut memiliki harga lebih dari Rp1 miliar per unit, serta jenis item lainnya, dinilai tidak wajar jika dibandingkan dengan harga pasar dan spesifikasi barang sejenis.
Proyek pengadaan ALKES tersebut berlangsung di RSUD Dr. Abdul Rivai, khususnya untuk kebutuhan Gedung Baru Walet dan Gedung Lama, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Isu ini mencuat setelah media melakukan penelusuran terhadap nilai kontrak pengadaan alkes serta temuan lapangan, tersorot kardus bekas alat kesehatan yang masih terlihat di area rumah sakit.
Beberapa pihak internal rumah sakit disebut memiliki peran strategis dalam proses pengadaan, di antaranya Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Selain itu, beredar dugaan keterlibatan oknum pejabat di lingkungan Pemkab Berau, meski hingga kini belum ada nama yang dapat dipastikan secara resmi. Identitas vendor pengadaan alkes juga belum dibuka ke publik.
Proyek ini menjadi perhatian karena menggunakan dana BLUD, yang merupakan bagian dari keuangan publik dan wajib dikelola secara transparan dan akuntabel.
Dugaan markup, penutupan informasi vendor, serta isu aliran fee dari pihak penyedia barang dinilai berpotensi merugikan keuangan negara dan mencederai prinsip tata kelola yang baik.
Dugaan tersebut muncul dari hasil penelusuran media dan informasi dari beberapa sumber terhadap nilai pengadaan yang dinilai tidak rasional, minimnya keterbukaan informasi proyek, serta keterangan dari sejumlah sumber yang enggan disebutkan namanya. Informasi yang diperoleh menyebutkan adanya dugaan kongkalikong antara oknum pejabat dan pihak vendor dalam proses pengadaan.
Klarifikasi Pihak RSUD
Menanggapi isu tersebut, Direktur RSUD Dr. Abdul Rivai, Jusram, membantah adanya praktik markup maupun gratifikasi.
“Itu tidak benar. Silakan dikonfirmasi ke humas karena beliau yang lebih mengetahui,” ujarnya melalui pesan WhatsApp kepada media ini.
Hal senada disampaikan Humas RSUD Dr. Abdul Rivai, Dani, yang menegaskan bahwa informasi tersebut tidak benar.
“Isu itu tidak benar. Intinya kami menepis informasi tersebut,” katanya.
Namun demikian, belum ada penjelasan rinci yang disampaikan kepada publik terkait nilai kontrak, spesifikasi barang, maupun identitas vendor, sehingga masih memunculkan tanda tanya di tengah masyarakat.
Sejumlah pihak mendesak agar dokumen pengadaan dibuka ke publik sesuai Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Aparat penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan, juga diminta untuk menelusuri dugaan ini lebih jauh, mulai dari proses penganggaran, penunjukan vendor, hingga dugaan aliran dana kepada oknum pejabat dan ASN.
Jika dugaan tersebut terbukti, para pihak yang terlibat berpotensi dijerat dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 12B, dan Pasal 5 UU Tindak Pidana Korupsi.**
