Investigasi

Komite Sekolah Menyimpang, Pungli Dilegalkan Atas Nama “Sumbangan Sukarela”

Poto: ilustrasi

Bogor_HARIANESIA.COM_Lembaga yang seharusnya menjadi mitra strategis sekolah untuk menyalurkan aspirasi dan memperkuat hubungan antara orang tua dan dunia pendidikan, kini justru banyak kehilangan marwahnya. Komite sekolah, yang mestinya menjadi benteng moral dan pengawas independen, di sejumlah lembaga pendidikan berubah menjadi alat pembenar praktik pungutan liar yang dibungkus rapi dengan istilah “sumbangan sukarela”.

Fenomena ini terjadi di berbagai jenjang pendidikan, termasuk di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Bogor. Modusnya seragam: pungutan ditetapkan sepihak dengan nominal besar, tanpa dasar hukum dan tanpa musyawarah yang sah.

Padahal, semangat sumbangan sukarela dalam regulasi pendidikan tidak boleh disertai unsur paksaan, tekanan, atau penentuan nilai tertentu.

Pungutan Berkedok Sumbangan, Salah seorang wali murid yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku dipaksa secara halus menyetujui “sumbangan” jutaan rupiah.

“Kami diundang rapat dengan kepala sekolah dan komite. Diumumkan bahwa setiap siswa wajib memberi sumbangan Rp5 juta. Tidak ada musyawarah, tidak ada kesepakatan, bahkan kami sudah menyatakan keberatan,” ungkapnya.

Namun setelah penolakan, pihak komite justru menurunkan angka sepihak menjadi Rp3 juta per siswa, seolah telah ada persetujuan bersama.

“Itu bohong. Tidak pernah ada kesepakatan apa pun. Kami merasa ditekan. Anak kami butuh sekolah, jadi kami terpaksa menerima keputusan itu,” tegasnya.

Bungkam dan Menghindar, Saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, Lucky, selaku humas Komite MAN 1 Bogor, hanya menanggapi singkat

“Sesuai dengan temuan abang, kami mengacu kepada regulasi PMA No. 16 Tahun 2020 dan Dirjen Pendis No. 3601 Tahun 2024 tentang Komite Sekolah.”

Namun, ketika media ini mempertanyakan apakah sumbangan yang sudah ditentukan nilainya masih bisa disebut sukarela, hingga berita ini tayang tidak ada respons lanjutan dari pihak komite.

Sikap diam itu justru memperkuat dugaan adanya praktik penyimpangan dalam pengelolaan komite.

Dana BOS Bukan Alasan untuk Memeras, Fakta lain yang tak kalah ironis, setiap sekolah negeri termasuk madrasah sudah menerima Dana BOS dari pemerintah yang seharusnya cukup untuk menunjang kegiatan operasional dan peningkatan mutu pendidikan.

Namun, dalih “peningkatan kualitas sekolah” sering dijadikan tameng klasik untuk melegitimasi pungutan yang pada dasarnya adalah pungli berkedok sumbangan.

Praktik seperti ini bukan hanya bentuk penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga cerminan kemunduran moral dan lemahnya pengawasan institusional di dunia pendidikan.

Tanggapan Praktisi Hukum: “Ini Bukan Sumbangan, Tapi Pungli yang Dilegalkan”

Praktisi hukum, Andi Faisal, S.H., M.H., menilai tindakan komite sekolah yang menentukan nominal “sumbangan” merupakan pelanggaran terhadap prinsip dasar hukum pendidikan dan bahkan bisa masuk kategori pungutan liar.

“Sumbangan hanya sah disebut sukarela apabila diberikan tanpa paksaan dan tanpa penetapan nilai. Begitu nominal sudah ditentukan, apalagi dengan tekanan atau ancaman sosial, maka itu bukan lagi sumbangan itu pungli yang dilegalkan oleh kebiasaan buruk,” tegas Andinya.

Ia juga menyoroti lemahnya peran pengawasan dari Kementerian Agama (Kemenag) dan Inspektorat Pendidikan yang seolah tutup mata terhadap praktik semacam ini.

“Kemenag harus turun langsung. Jangan hanya berlindung di balik regulasi. Kalau dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk dan bentuk korupsi kecil-kecilan di dunia pendidikan,” tambahnya.

Lebih jauh, Andi Faisal menegaskan bahwa praktik pungutan berkedok sumbangan bisa dijerat UU Tipikor jika terbukti mengandung unsur penyalahgunaan kewenangan dan pemaksaan.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi. Jika ada unsur paksaan dan penetapan nilai, apalagi dilakukan oleh pejabat publik atau lembaga resmi, maka bisa masuk ranah pidana,” ujarnya.(Tim)

Exit mobile version