TNI-POLRI

Ketika Partai Diubah Menjadi Kantor: Krisis Rekrutmen dan Matinya Kaderisasi di PDI Perjuangan DIY

Di banyak daerah, partai politik perlahan berubah bentuk. Ia tak lagi menyerupai organisasi perjuangan, melainkan menyerupai kantor birokrasi dengan struktur kaku, relasi atasan–bawahan, dan loyalitas yang diukur bukan dari gagasan, melainkan dari kepatuhan.

Fenomena ini kian kentara di tubuh PDI Perjuangan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya dalam pola rekrutmen pengurus yang makin didominasi oleh pekerja partai bergaji.

Pada titik inilah problem mendasarnya muncul: ketika pekerja administratif diangkat menjadi pengurus, partai kehilangan jiwanya.

Dalam teori politik klasik, partai terdiri dari empat unsur utama: pengurus sebagai pengambil keputusan politik, pekerja sebagai pelaksana administratif, militan sebagai penggerak ideologis, dan anggota sebagai basis sosial. Keempatnya memiliki fungsi berbeda namun saling melengkapi. Ketika batas itu dilanggar—ketika pekerja menjelma pengurus—yang lahir bukan efisiensi, melainkan distorsi kekuasaan.

Pekerja partai sejatinya berada dalam hubungan kerja yang bergantung pada struktur. Ketika mereka duduk sebagai pengurus, independensi politik pun runtuh. Kritik menjadi risiko, perbedaan pendapat dianggap pembangkangan, dan loyalitas personal menggantikan rasionalitas politik.

Dalam situasi seperti ini, partai tidak lagi dipimpin oleh gagasan, tetapi oleh rasa takut kehilangan posisi.
Lebih dari itu, praktik ini mematikan proses kaderisasi. Kader ideologis—yang tumbuh dari basis rakyat, bergerak dalam kerja sosial, dan teruji dalam konflik—tersingkir oleh mereka yang “aman secara struktural”.

Akibatnya, partai kehilangan energi, kehilangan imajinasi, dan kehilangan keberanian. Yang tersisa hanyalah barisan pengelola, bukan pejuang politik.

Robert Michels menyebut kondisi semacam ini sebagai iron law of oligarchy: kecenderungan partai untuk dikuasai segelintir elite yang mempertahankan kekuasaan melalui kontrol organisasi.

Apa yang terjadi di PDI Perjuangan DIY hari ini menunjukkan gejala klasik itu—partai berubah menjadi organisasi tertutup yang semakin jauh dari denyut sosial yang dulu membesarkannya.

Ironisnya, semua ini terjadi pada partai yang mengklaim diri sebagai rumah wong cilik dan pewaris tradisi kerakyatan. Ketika struktur lebih penting daripada rakyat, dan loyalitas lebih dihargai daripada keberanian, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar kualitas kepengurusan, melainkan masa depan partai itu sendiri.

Jika PDI Perjuangan ingin tetap relevan dan hidup sebagai kekuatan politik rakyat, maka koreksi internal bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Pemisahan tegas antara pekerja dan pengurus, pembukaan ruang bagi kader ideologis, serta penghentian praktik feodalisme struktural adalah syarat minimum untuk menyelamatkan partai dari pembusukan dari dalam.

Jika tidak, PDI Perjuangan akan terus menang dalam struktur, tetapi kalah dalam makna.

Oleh: Antonius Fokki Ardiyanto S.IP

Exit mobile version