Lampung Timur, Kekerasan Seksual diduga dilakukan oleh AMK alias Khr selaku Ketua RT. 001 terhadap AO tetangganya di wilayah Kecamatan Sukadana pada Senin, 27 Oktober 2025 sekira jam 00.40 WIB dinihari.
Ketika AO sedang tidur dikamar, tiba-tiba ada tangan orang yang menggerayangi tubuhnya meraba-raba kaki, meraba-raba wilayah sensitif dan meremas-remas di bagian dada.
Merasa bukan muhrimnya tangan orang itu ditepis, lalu AO berupaya bangun dari tempat tidurnya ingin menyalakan lampu listrik dikamar yang biasanya menyala namun dimatikan oleh orang tersebut.
Tiba-tiba, baju daster yang dikenakan oleh AO ditarik sekuat tenaga dengan cara paksa dan kasar sampai ke leher sehingga leher terasa sakit seperti tercekik karena terlilit baju saking kuatnya tarikan membuat tubuh AO terhempas ditempat tidur.
Benar-benar terkejut setelah lampu di nyalakan, AO melihat wajah orang yang menggerayangi tubuhnya ternyata dikenalnya yang tak lain dialah AMK alias Khr masih kerabat keluarga dari IJ suaminya sekaligus Ketua RT.001 dilingkungannya.
Dengan perasaan tergoncang, spontan AO marah kepada Khr, “mau apa kamu!” dan berteriak-teriak minta “tolong” serta mengusir Khr, “pergi kamu keluar!’.
Khr sempat membekap mulut AO dengan tangan kanannya hingga kepala AO membentur dinding. Sedangkan telunjuk tangan kiri Khr ditempelkan dimulutnya memberi isyarat agar AO tak berteriak-teriak.
Perlawanan dan teriakan AO membuat Khr semakin bertambah panik, akhirnya berpamitan, “Ya Tu, K…h…r Pergi” sembari berlalu pergi dari kamar tempat kejadian berlangsung.
Dalam suasana kepanikan, AO segera menghubungi IJ suaminya, istri MK kerabat keluarga suaminya dan menghubungi RK orangtuanya.
Mendapat telpon dari AO istrinya, IJ suaminya segera pulang, akan tetapi apes motor yang dikendarainya mengalami kerusakan dalam perjalanan.
Terpaksa IJ berjalan kaki menuju kerumah AMK alias Khr untuk minta bantu diantarkan pulang sebab IJ belum mengetahui siapa orang yang melakukan kekerasan seksual terhadap AO istrinya.
Berhubung Khr maupun Rbh ibunya dan HN istrinya tidak keluar menemuinya, maka IJ kerumah AA alias Aly anggota Linmas untuk minta bantu diantarkan pulang kerumahnya.
Setibanya dirumah, IJ ditemani oleh Aly anggota Linmas langsung menemui dan bertanya kepada AO istrinya, “apa yang terjadi”, sembari menangis AO mengatakan “ada orang yang masuk”, siapa pelakunya, “K…h…r”.
Mendengar keterangan dari AO istrinya itu, IJ langsung minta agar supaya AA alias Aly anggota Linmas mengkroscek keberadaan AMK alias Khr.
Di dalam hati dan benaknya IJ berpikir, pantas saja Khr pada saat didatangi kerumahnya tidak mau keluar dari dalam rumah untuk menemuinya berikut Rbh ibunya dan HN istrinya.
Untuk yang kedua kalinya, Khr dipanggil-panggil oleh Aly anggota Linmas sampai 4-5 kali tapi tetap saja Khr dan Rbh ibunya serta HN istrinya tidak keluar menemuinya.
Berhubung tidak ada yang menemuinya, anggota Linmas pulang dan sempat singgah diwarung makan miliknya sebentar dan bercerita ke pelanggannya berinisial, Hrm.
Karena Aly anggota Linmas belum menyampaikan laporan hasil kroscek keberadaan Khr, iapun segera bergegas kembali untuk menemui IJ dirumah.
Entah darimana datangnya Khr tiba-tiba telah berada didepan rumah IJ yang sedang dimarahi oleh IJ lalu kemudian mereka dilerai oleh anggota Linmas.
Khr datang kerumah IJ menggunakan motor diduga ingin melakukan pembenaran seolah-olah tidak mengetahui apa yang telah terjadi sembari bertanya kepada IJ, “ada apa bang”.
Sewaktu RK dihubungi oleh AO anaknya melalui handphone terdengar suaranya menangis ketakutan karena diduga kuat diganggu oleh Khr.
RK membangunkan dan memberitahu AAN anak lelakinya bahwa AO kakak perempuannya diganggu oleh Khr dan AAN segera menuju kelokasi.
RK pun bergegas menuju kerumah AO anaknya, setibanya RK menemui dan bertanya apa yang terjadi, sembari menangis dengan perasaan tergoncang AO mengatakan bahwa ada orang yang menganggunya dikamar bernama Khr.
Setelah mendengar keterangan AO, RK menuju keruang tamu sambil berdiri dipintu marah dan mengusir Khr agar pergi dari depan rumah korban.
Mungkin tidak terima dimarahi oleh RK, bukannya pergi tapi Khr malah kemudian nerobos dan menerjang, beruntung RK masih bisa mengelak.
Khr dengan beringas memukul AAN diruang tamu sampai dahi atau jidat AAN luka memar bengkak terasa sakit dan siangnya langsung di visum di RSUD Sukadana.
Datang anggota Polsek Sukadana Doni, Dion dan Holis ke tempat kejadian, lalu mendengar keterangan AO dan melihat pintu kamar, dapur, pintu dapur dan toilet dapur.
Toilet dapur terhubung langsung dengan toilet kamar pribadi IJ dan AO (pasutri) yang hanya dibatasi dinding penyekat tanpa plafon.
Diperkirakan, Khr diduga masuk ke kamar dengan cara memanjat dinding toilet dapur terlebih dahulu kemudian masuk ke toilet kamar pribadi IJ dan AO.
Anggota Polsek Sukadana bernama Dion menganjurkan agar AO sebagai korban melaporkan kejadian dugaan kekerasan seksual tersebut ke Kepolisian.
Setelah itu, anggota Polsek Sukadana menemui dan mendengarkan keterangan AMK alias Khr yang diduga melakukan kekerasan seksual duduk diteras rumah tetangga korban.
Saat didatangi oleh 3 orang anggota Polsek Sukadana, Khr disinyalir tidak berani bertatap muka dan hanya melirik ke samping kiri dan kanan disaksikan banyak orang, (bahasa tubuh).
Dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh AO diceritakannya kepada setiap orang yang datang termasuk Rbh ibu Khr, dan berikut kejadian Khr melihat pintu dapur terbuka dan bayangan hitam.
AO melapor ke SPKT Polres Lampung Timur dengan STPL Nomor: LP/ B/ 366/ X/ 2025/ SPKT/ Polres Lampung Timur/ Polda Lampung pada Senin, 27 Oktober 2025 jam 04.23 WIB.
Pelapor telah melaporkan dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dengan terlapor atas nama (inisial) AMK alias Khr.
Asesmen psikolog di RSUD Sukadana didampingi oleh Irma Rahmalita dari UPTD PPPA Lampung Timur pada, 4 Desember 2025 dan juga konseling di Praktik Psikolog Klinis Azola Arcilia Fajuita Metro Lampung pada, 9 Desember 2025.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 6 dipidana karena pelecehan seksual fisik:
Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 71
Hak Keluarga Korban meliputi:
hak atas kerahasiaan identitas;
hak atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan;
hak untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata atas laporan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
hak mendapatkan penguatan psikologis.
hak atas informasi tentang Hak Korban, hak Keluarga Korban, dan proses peradilan pidana sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana;
Pemenuhan hak keluarga korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban.
Ayat (3)
Pemenuhan hak keluarga korban diselenggarakan secara bersama-sama yang antara lain terdiri atas UPTD PPA, dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial, dan LPSK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Sumber Hukum Online)
UU No. 12 Tahun 2022 (UU TPKS): Pasal 6 huruf c mengancam pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta bagi pelaku yang melakukan kekerasan seksual dengan memanfaatkan posisi atau kekuasaan, termasuk pada bawahan.
KUHP Lama (Pasal 294 ayat (2) angka 1): Pejabat yang melakukan perbuatan cabul terhadap bawahannya diancam penjara hingga 7 tahun.
KUHP Baru (UU No. 1/2023, Pasal 418 ayat (2) huruf a): Ancaman pidana bagi pejabat yang melakukan tindakan cabul kepada bawahannya diperberat menjadi penjara hingga 12 tahun.
Pasal 289 KUHP: Jika ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa perbuatan cabul, dapat dikenakan pidana penjara hingga 9 tahun, yang bisa diperberat jika dilakukan terhadap bawahan. (Sumber Google)
Pasal 289. : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. (K.U.H.P. 37, 89, 281, 290, 291, 298, 335).
Penjelasan :
1. Yang dimaksud dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggauta kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan tetapi dalam undang-undang disebutkan sendiri.
2. Yang dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. (Sumber Buku KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal oleh R. Soesilo).
Seorang Ketua Rukun Tetangga (RT) yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap warga dapat dikenakan sanksi hukum pidana yang berat, dijerat menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melansir artikel sumber google.
Statusnya sebagai Ketua RT (pejabat publik di lingkup terkecil) bisa menjadi faktor yang memberatkan hukuman.
Dasar Hukum dan Sanksi
Hukum di Indonesia memandang kekerasan seksual sebagai tindak kejahatan serius yang mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS): UU ini merupakan lex specialis (hukum khusus) yang mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual secara komprehensif. Ancaman pidana dan denda sangat bervariasi tergantung jenis tindak pidana yang dilakukan.
Misalnya, untuk pelecehan seksual nonfisik, ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp300 juta.
UU TPKS juga menjamin hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Ketentuan dalam KUHP juga berlaku, terutama pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, perkosaan dan perbuatan cabul.
Pasal 285 KUHP (Pemerkosaan): Ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun.
Pasal 289 KUHP (Perbuatan Cabul dengan Kekerasan): Ancaman pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 281 KUHP (Merusak Kesusilaan di depan umum): Diatur dalam KUHP lama dan baru.
Faktor Pemberat Hukuman.
Jabatan Ketua RT adalah posisi kepercayaan publik yang seharusnya mengayomi dan melindungi warga. Penyalahgunaan wewenang ini dapat menjadi faktor yang memberatkan hukuman dalam proses peradilan.
Proses Hukum yang Harus Dilakukan Korban.
Korban kekerasan seksual memiliki hak penuh untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan. Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi:
Melapor ke Pihak Berwajib: Korban atau keluarga korban dapat segera melapor ke kantor polisi terdekat untuk memulai proses hukum.
Mencari Bantuan dan Pendampingan: Korban disarankan untuk mendapatkan pendampingan dari lembaga bantuan hukum atau pusat krisis terpadu, seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) atau Komnas Perempuan, untuk memastikan hak-haknya terpenuhi.
Memastikan Bukti: Mengumpulkan bukti-bukti yang relevan sangat penting untuk proses penyidikan.
Ketua RT tersebut tidak memiliki kekebalan hukum dalam tindak pidana dan akan diproses sesuai hukum yang berlaku sama seperti warga negara lainnya.
(RK/TIM)
