JAKARTA_HARIANESIA.COM_ Penanganan hukum terhadap penyalah guna narkotika di Indonesia kembali mendapat sorotan tajam dari tokoh senior kepolisian dan pegiat hukum narkotika, Komjen Pol (Purn) Dr. Anang Iskandar,S.I.K., SH, MH. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ini menyerukan agar pemerintah dan penegak hukum segera membenahi implementasi undang-undang dengan menggeser pendekatan dari Criminal Justice System (CJS) ke Rehabilitative Justice System (RJS) bagi penyalah guna.
Anang menegaskan bahwa meskipun undang-undang mengkriminalkan penyalahgunaan, namun secara filosofis dan medis, penyalah guna tidak semestinya dipidana penjara.
”Penyalah guna secara medis adalah orang sakit yang menderita adiksi ketergantungan narkotika. Mereka tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara penuh. Oleh karena itu, penyalah guna wajib menjalani rehabilitasi agar tidak relapse (mengulangi perbuatannya), serta wajib dilindungi dan diselamatkan dari bahaya sakit adiksi, bukan dihukum badan,” tegas Anang Iskandar.
Strategi Balanced Approach
Lebih lanjut, Anang menekankan bahwa strategi penegakan hukum “harus” menggunakan balanced approach (pendekatan seimbang) untuk mewujudkan keadilan substantif:
1.Sisi Humanis (Penyalah Guna): Mewujudkan keadilan preventif dan rehabilitatif. Penegak hukum harus fokus menempatkan penyalah guna ke dalam IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor), rumah sakit, atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah. Interpretasi hukumnya harus berbasis perlindungan, pengayoman, dan nilai ilmiah bahwa mereka adalah pecandu.
2.Sisi Represif (Pengedar): Mewujudkan keadilan demi ketertiban dan keamanan. Fokus penegak hukum di sini adalah memberantas para pengedar narkotika dengan sanksi pidana yang berat demi kepastian hukum.
Soroti Kasus Artis dan Ribuan Napi Narkoba
Mengomentari deretan kasus publik figur seperti Fariz RM, Ammar Zoni, Ridho Rhoma, Nia Ramadhani, Catherine Wilson, hingga ribuan penyalah guna yang kini dipenjara, Anang menilai proses tersebut keliru jika dipaksakan menggunakan kacamata pidana konvensional (CJS).
”Mengadili perkara penyalahgunaan narkotika terdakwa, seperti para artis tersebut dan ribuan penyalah guna lainnya, tidak perlu menggunakan CJS (Criminal Justice System). UU Narkotika secara khusus sebenarnya mengamanatkan penggunaan RJS (Rehabilitative Justice System) yang simpel, tidak berbelit, cepat, berbiaya murah, dan berkemanusiaan,” ungkapnya.
Peringatan Menuju 2045
Menutup opininya, Anang Iskandar memberikan peringatan serius bagi pemerintah. Jika implementasi hukum tidak segera dibenahi, rehabilitatif untuk pengguna dan represif untuk pengedar, maka visi Indonesia Emas bisa terganggu.
”Pemerintah harus membenahi implementasi ini. Jika tidak, kita berisiko menjadikan Indonesia sebagai pasar besar narkotika dan menghasilkan generasi pecandu pada tahun 2045 mendatang,” tutup Anang.
