Jakarta – Konstitusi narkotika di Indonesia mengamanatkan kepada DPR dan Pemerintah untuk membentuk badan yang tugasnya mengkoordinasikan langkah preventif dan represif dalam melaksanakan P4GN, hal ini disampaikan secara tertulis
oleh Komjen Pol (Purn) Dr.Anang Iskandar, SIK.,SH.,MH Senin
(4/8/2025).
Lebih lanjut Pakar Hukum Narkotika, Mantan Kepala BNN Serta Mantan KABARESKRIM
ini menjabarkan
“Urgensi dibentuk badan untuk mengkoordinasikan langkah preventif dan represif karena: Pertama fungsi pencegahan diaksanakan oleh seluruh kementrian, seluruh lembaga pemerintah non kementrian dan melibatkan seluruh komponen masyarakat.
Kedua fungsi rehabilitasi melibatkan kementrian kesehatan untuk melaksanakan pencegahan primer dan pencegahan sekunder (rehabilitasi ). Kedua fungsi rehabilitasi melibatkan Kemkes dan Kemensos.
Ketiga fungsi pemberantasan berkaitan dengan Polri, Kejagung, MA, Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial dan Kementerian Kumham, Kementrian Impas dan Kemendagri tandasnya.
Anang juga mengungkapkan
“Karena luasnya stickholder penanggulangan narkotika maka Pemerintah dan DPR pada tahun 2009 membentuk BNN yang bertanggung jawab kepada presiden tetapi diberi tugas sebagai penyidik sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian namun sonder tugas mengkoordinasikan langkah preventif dan represif dalam program P4GN.
Akibatnya pelaksanaan Program Pemerintah dalam P4GN menjadi tidak terintegrasi ungkap nya.
Berdasarkan Memorie van Toelichting (MvT) bahwa Pemerintah mengusulkan membentuk BADAN yang tugasnya mengkoordinir langkah preventif dan represif, tetapi dalam pembahasan di DPR dirubah menjadi BNN yang justru diberi tugas untuk menyidik, dan tidak diberikan tugas mengkoordinir langkah preventif dan represif.
Akibatnya terjadi dualisme tugas penyidikan perkara narkotika.
Dualisme kewenangan penegak hukum dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika (direhabilitasi atau dipenjara).
Dualisme badan negara yang tugasnya sama dan dualisme kewenangan penegak hukum menjadikan not good governance, lapas over kapasitas dan residivisme serta meningkatnya deman narkotika sampai ke desa desa dan supply narkotika ke Indonesia.
Kepala Negara melalui pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif buatlah kebijakan “narkotika” yang benar pungkas Anang.(Tim/Red)