Hukum

Aktivis Matahari Bangunan Nilai Resto Majestic Damar Langit Diduga Kangkangi Perda GSS, Pemkot dan Penegak Perda Dinilai Bungkam

DEPOK — Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aktivis Matahari, Zefferi, kembali menyoroti keras keberadaan bangunan Resto Majestic Damar Langit yang berdiri sangat dekat dengan bibir Sungai Ciliwung.

Ia menilai bangunan tersebut patut diduga kuat melanggar Garis Sempadan Sungai (GSS) sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 18 Tahun 2003 tentang Garis Sempadan.

Menurut Zefferi, Sungai Ciliwung merupakan sungai besar yang secara tegas wajib memiliki sempadan minimal 15 hingga 30 meter, dan kawasan tersebut adalah zona lindung yang dilarang untuk bangunan permanen maupun kegiatan komersial.
“Ini bukan soal tafsir, ini soal kepatuhan hukum.

Bangunan permanen yang berdiri nyaris menempel di bibir sungai jelas menabrak Perda GSS. Jika ini dibiarkan, maka negara kalah oleh bangunan usaha,” tegas Zefferi.

Ia menambahkan, dugaan pelanggaran tersebut bukan hanya persoalan jarak, tetapi juga menyangkut potensi pelanggaran tata ruang, ancaman kerusakan lingkungan, serta peningkatan risiko banjir dan longsor tebing sungai.
“Sempadan sungai adalah kawasan lindung, bukan kawasan komersial.

Kalau ini dibiarkan, artinya Pemkot Depok sedang mempertontonkan pembiaran pelanggaran aturan,” lanjutnya.

Zefferi juga mempertanyakan legalitas perizinan bangunan, mulai dari izin tata ruang, persetujuan lingkungan, hingga rekomendasi teknis dari BBWS Ciliwung–Cisadane yang seharusnya wajib untuk bangunan di sekitar sungai.
“Kalau izin lengkap, buka ke publik. Jangan diam. Diamnya pejabat justru memperkuat dugaan bahwa ada masalah serius dalam proses perizinan,” katanya.

Penegak Perda Ikut Disorot
Lebih lanjut, Zefferi menyoroti tidak adanya tindakan tegas dari aparat penegak Perda, meskipun bangunan tersebut diduga berdiri di kawasan sempadan sungai.

“Satpol PP sebagai penegak Perda seharusnya berada di garda terdepan.

Jika bangunan permanen berdiri di bantaran sungai dan dibiarkan, maka wibawa Perda patut dipertanyakan,” ujarnya.

Hingga berita ini ditayangkan, awak media Kompasiana telah berupaya menghubungi Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Depok dan Wakil Wali Kota Depok, namun belum mendapatkan tanggapan resmi.

Selain itu, awak media juga menghubungi Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kota Depok melalui sambungan telepon untuk meminta klarifikasi dan memastikan langkah penegakan Perda terkait dugaan bangunan permanen di bantaran Sungai Ciliwung. Namun hingga berita ini dipublikasikan, belum ada pernyataan maupun tindakan tegas yang disampaikan kepada publik.
Diduga Ada Pembiaran
Aktivis Matahari menilai kondisi tersebut memperkuat dugaan adanya pembiaran terhadap bangunan permanen di kawasan sempadan sungai.
“Kalau rakyat kecil membangun di sempadan sungai langsung ditertibkan, tetapi bangunan usaha besar dibiarkan, maka jelas ada ketimpangan penegakan hukum,” tegas Zefferi.

Ia mendesak Pemkot Depok, Satpol PP, dan instansi terkait untuk segera:
melakukan audit perizinan,
pengukuran ulang GSS di lokasi,
serta menindak tegas bangunan permanen di bantaran Sungai Ciliwung tanpa pandang bulu.
“Sungai bukan milik investor. Sungai adalah ruang hidup publik. Jika penegakan hukum terus tumpul, kami tidak akan tinggal diam,” pungkasnya.

Exit mobile version