Scroll untuk baca artikel
Banner Iklan Harianesia 325x300
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia 728x250
Edukasi

Riko, Tinju, dan Harga Sebuah Pengabdian: Kisah Emas yang Terlupakan dari Sulawesi Selatan

×

Riko, Tinju, dan Harga Sebuah Pengabdian: Kisah Emas yang Terlupakan dari Sulawesi Selatan

Sebarkan artikel ini
Banner Iklan Harianesia 468x60

CELEBES POST — Makassar, Sulawesi Selatan. Di balik setiap pukulan yang menggema di ring tinju, ada cerita tentang keberanian, dedikasi, dan cinta terhadap tanah kelahiran. Bagi Eriko Kevin Keygen Amanupunyo, atau akrab disapa Riko, semua itu bukan sekadar kisah karier — melainkan jalan hidup.

Namun, siapa sangka, perjalanan panjang yang ia tempuh untuk mengharumkan nama Sulawesi Selatan justru berakhir dengan getir dan luka batin yang dalam.

Banner Iklan Harianesia 300x600

Dari Palangkaraya ke Bangkok: Jejak Langkah Sang Juara

Riko mulai memegang sarung tinju sejak usia belasan. Tahun 1996, di Palangkaraya, ia menorehkan medali emas pertamanya. Sejak itu, prestasi demi prestasi datang silih berganti: Manado, Jakarta, Gorontalo, Surabaya, hingga Ambon — semua pernah jadi saksi tangan mungilnya memukul sejarah.

Ia tak berhenti di level nasional. Pada King’s Cup Thailand 2007, Riko merebut medali perunggu, diikuti capaian membanggakan di SEA Games Laos 2009.
Nama “Eriko Kevin” kerap disebut komentator tinju nasional sebagai “anak Sulsel yang tak kenal menyerah.”

Namun, kejayaan itu seperti debu yang ditiup angin. Ketika kembali dari SEA Games Myanmar 2013, Riko tak lagi dielu-elukan.
“Dulu disambut dengan spanduk dan pelukan. Tapi waktu saya pulang dari Myanmar, tak satu pun pejabat KONI atau Dispora datang menyambut. Seakan saya tak pernah ada,” ujarnya lirih, menatap kosong selembar piagam yang mulai menguning.

Jadi ASN, Tapi Tak Dihargai

Baca Juga :  Lima Tokoh Agama Menanda Tangani Petisi Tolak Anarkisme & Provokasi

Tahun 2011, Riko diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dispora Sulawesi Selatan.
Baginya, status itu bukan hadiah, melainkan bentuk tanggung jawab baru untuk tetap berkontribusi pada olahraga yang membesarkannya.

Namun, perjalanan kariernya di birokrasi ternyata lebih keras daripada ring tinju.
Pada 2014, ia mengajukan permohonan pindah tugas — langkah sederhana yang malah menjadi awal penderitaan panjang.
“Semua berkas sudah saya setor ke Kasubag. Tapi tidak pernah diproses. Seolah berkas saya diletakkan di bawah meja,” katanya.

Tahun-tahun berlalu, bukan kabar baik yang datang, melainkan blokir gaji.
“Bayangkan, saya sudah menjalani sanksi, hadir tiap hari sesuai ketentuan inspektorat, tapi gaji tetap diblokir. Saya tak tahu salah saya di mana,” ujarnya dengan nada kecewa.

Ketemu Kadispora: Harapan yang Kembali Retak

Pertemuan tak terduga terjadi pada Juni 2024. Di sebuah apotek di Makassar, Riko bertemu H. Herman, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Sulawesi Selatan.
Dengan penuh hormat, Riko menanyakan nasibnya — tentang berkas, tentang blokir gaji, tentang haknya sebagai ASN dan mantan atlet.

Namun, jawaban yang ia terima justru seperti pukulan kedua — bukan dari lawan di ring, tapi dari sistem yang seharusnya melindunginya.
“Masih mending itu Papua karena masih NKRI, sedangkan ada Hairullah yang mewakili Brunei Darussalam, itu lebih pengkhianat,” kata sang Kadis, sebagaimana ditirukan Riko.

Kata-kata itu menancap dalam.
“Saya bukan pengkhianat. Saya hanya ingin dihargai di tanah tempat saya berjuang,” bisiknya pelan.

Baca Juga :  Warga Dirugikan, Proyek Penataan Jalan Kemakmuran Depok Telan Anggaran Rp1,8 Miliar Tapi Timbulkan Kerusakan dan Tak Ada Ganti Rugi

Suara Hukum dan Keadilan yang Ditinggalkan

Kasus Riko menyoroti betapa lemahnya implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, yang dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban memberikan penghargaan dan jaminan kesejahteraan bagi atlet berprestasi.

Pengamat hukum olahraga dan advokat Sulawesi Selatan, Aswandi Hijrah, S.H., M.H., menyebut kasus Riko sebagai “contoh nyata dari gagalnya sistem penghargaan atlet di daerah.”
“Ketika hak seorang ASN dan atlet yang telah berjasa tidak dihormati, itu bukan sekadar kelalaian administratif — tapi pelanggaran etika publik dan hukum kepegawaian,” tegasnya.

Aswandi menambahkan, pemerintah seharusnya tidak hanya hadir saat atlet berdiri di podium, tapi juga saat mereka turun dari ring dan kembali ke kehidupan nyata.
“Negara wajib hadir untuk menjamin masa depan para pahlawan olahraga. Jika tidak, jangan salahkan jika mereka mencari tempat lain yang menghargai jasa mereka,” ujarnya.

Berjuang Tanpa Ring

Kini, Riko tidak lagi berdiri di atas ring kompetisi. Tapi semangat bertarungnya belum padam.
Ia melatih anak-anak muda di Makassar yang bercita-cita menjadi petinju, dengan sarung tinju yang sudah mulai robek di tepinya.
“Saya tidak ingin mereka mengalami nasib yang sama. Saya ajarkan bukan cuma cara memukul, tapi juga bagaimana tetap tegar meski hidup tidak adil,” tuturnya sambil tersenyum tipis.

Baca Juga :  Ribka Tjiptaning, Ketua DPP PDIP Bidang Kesehatan, Kecam Pernyataan Ahmad Dhani Di Hari Perempuan Sedunia

Di sela-sela latihan, ia sering menatap medali yang tergantung di dinding rumahnya — beberapa sudah berkarat, tapi tetap berkilau bagi dirinya.
“Itu saksi perjuangan. Dulu saya bertinju untuk mengharumkan nama Sulsel. Sekarang, saya bertinju melawan lupa,” katanya.

Harapan yang Tak Pernah Padam

Riko tahu, perjuangannya mungkin tak lagi gemerlap di mata publik, tapi baginya, semangat itu masih hidup.
Ia percaya, suatu hari nanti pemerintah daerah akan membuka mata dan menyadari bahwa penghargaan terhadap atlet bukan sekadar seremoni, melainkan kewajiban moral dan konstitusional.

“Selama masih ada anak muda yang mau berjuang lewat olahraga, saya tidak akan berhenti. Tinju mengajarkan saya satu hal: jatuh itu biasa, tapi menyerah itu pilihan,” pungkasnya.

Penutup: Mengingat yang Dilupakan

Cerita Eriko Kevin Keygen Amanupunyo bukan sekadar kisah tentang seorang atlet — ini adalah refleksi tentang bagaimana bangsa memperlakukan pahlawannya.
Ia telah memberikan segalanya: waktu, tenaga, bahkan kesehatannya, demi nama daerah. Namun, yang ia dapat hanyalah sepi dan janji yang tak ditepati.

Ketika para pejabat sibuk berbicara tentang prestasi dan medali, mungkin mereka lupa  bahwa di balik setiap kemenangan, ada seseorang seperti Riko yang masih menunggu rasa terima kasih dari negeri yang ia bela.

 

Reporter: MDS/LEVI
Penulis Feature: Celebes Post Investigasi
Makassar, November 2025

 

“Karena tidak semua pahlawan memakai seragam, sebagian mengenakan sarung tinju.”

Banner Iklan 1
Banner Iklan Harianesia 120x600