Jakarta – Pembubaran diskusi dan bedah buku Reset Indonesia terjadi di Gunungsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Sabtu malam (20/12). Peristiwa tersebut menuai kecaman dari Pengamat Pertahanan, Ario Seno, yang menilai tindakan itu sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan berekspresi
“Terus terang saya geram. Sampai hari ini masih saja ada pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, apalagi yang disasar adalah kegiatan intelektual seperti diskusi dan bedah buku,” ujar Ario dalam keterangannya, Kamis (24/12).
Ario mengaku kemarahannya bersifat personal sekaligus prinsipil. Sebagai penulis yang telah menerbitkan buku dan beberapa kali menggelar bedah buku, ia merasa kejadian tersebut bisa menimpa siapa saja.
“Saya penulis. Saya pernah menerbitkan buku dan mengadakan bedah buku. Kejadian kemarin membuat saya membayangkan, jangan-jangan besok saya yang mengalami hal yang sama. Itu yang membuat saya benar-benar geram,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa pembatasan terhadap aktivitas intelektual merupakan tanda kemunduran sebuah bangsa. Menurutnya, sejarah telah menunjukkan bagaimana peradaban besar runtuh ketika semangat berpikir kritis ditinggalkan.
“Saya sebutkan dua contoh, Kekhalifahan Abbasiyah dan Kesultanan Ottoman. Di masa awal, keduanya menjunjung tinggi intelektualitas. Ulama dan ilmuwan lahir dengan ribuan karya. Bahkan konon, sampah pada masa itu didominasi kertas bekas karena tingginya aktivitas menulis dan mencetak buku. Namun ketika semangat itu memudar dan masyarakat lebih memilih taklid pada penguasa, kehancuran pun datang,” jelasnya.
Ario juga menyinggung pengalamannya berinteraksi dengan berbagai kementerian dan lembaga negara. Ia menilai keberadaan perpustakaan menjadi indikator keseriusan suatu institusi terhadap pengetahuan.
“Saya perhatikan, lembaga yang tidak punya perpustakaan biasanya tidak bertahan lama. Sebagian sudah bubar, sebagian lainnya tinggal menunggu waktu,” ujarnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Ario mendorong penguatan literasi sejak pendidikan dasar. Ia secara khusus menyarankan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah untuk memasukkan literasi sebagai elemen inti kurikulum.
“Masalah ini harus diselesaikan dari akar. Anak-anak tidak cukup hanya diajarkan membaca, tapi juga menulis dan menerbitkan buku sejak dini. Di toko buku impor, banyak buku berkualitas yang ternyata ditulis oleh anak di bawah umur.
Jika sejak kecil anak-anak kita punya sense of literation, semangat intelektualitas akan tumbuh, dan generasi anti-intelektual akan hilang dengan sendirinya,” pungkasnya.
Yudi




















