Jakarta – Sidang lanjutan kasus penyalagunaan narkotik yang melibatkan terdakwa musisi senior Fariz Roestam Moenaf atau Fariz RM kembali ditunda oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Senin 28 Juli 2025.
Jaksa penuntut umum menyatakan pihaknya belum siap membacakan tuntutan terhadap Fariz RM dan masih menunggu arahan pimpinan.
Kuasa hukum Fariz RM, Deolipa Yumara menanggapi penundaan tersebut, dengan senyum dan berpikir postif dengan penundaan untuk yang kedua kalinya.
Sidang Fariz RM berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan berlangsung cukup singkat dimana JPU meminta penundaan ke majelis hakim.
Hakim pun menyetujui dan sidang akan dilanjutkan minggu depan, Senin 4 Agustus 2025 dan kuasa hukum Fariz pun menerima putusan majelis hakim.
Deolipa Yumara mengatakan, tuntutan resmi diperkirakan akan dibacakan pada minggu depan.
Pihak keluarga maupun pendamping hukum berharap kejaksaan akan mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan menjatuhkan tuntutan rehabilitasi, bukan pidana penjara.
Pakar Hukum Narkotika, Komjen Pol (Purn) Dr.Anang Iskandar,S.I.K.,SH.,MH
Menanggapi kasus Faridz.RM Ini,
Menurutnya
Faritz.RM adalah penyalahguna narkotika kambuhan, penderita sakit adiksi, kondisinya dalam keadaan
kecanduan narkotika (pecandu), dan sudah 4 kali berurusan dengan penegak
hukum namun dalam proses penegakan
hukumnya direkayasa ala hukum pidana
sebagai pengedar, diadili dan djatuhi
hukuman pidana.
Dihubungi awak media Senin (29/2025), Mantan Kabareskrim serta Mantan Kepala BNN ini menegaskan
“Kenapa menghukum pidana
pelaku kejahatan penyalahgunaan
narkotika kok melanggar UU narkotika ?
Ya.. Karena UU narkotika bukan UU pidana ungkap Anang.
Anang juga menegaskan “Pengadilan Negeri hanya
berwenang mengadili perkara pidana
dan perdata, Hakim Pengadilan Negeri
hanya mahir mengadili perkara pidana
dan perdata. Kejahatan narkotika
seharusnya diadili oleh Pengadilan
Narkotika dengan Hakim berkwalifikasi
Hukum Narkotika, seperti halnya
pengadilan Niaga, Korupsi dan HAM.
Lebih jauh Anang katakan
“Kalau Pengadilan Negeri
“dipaksanakan” mengadili perkara
narkotika maka pelaku kejahatan
narkotika diperlakukan ala KUHAP dan
KUHP Padahal UU no 35 tahun 2009
tentang narkotika mengatur proses
pengadilan secara khusus, hakim diberi
kewajiban khusus (pasal 127/2) dan
hakim juga diberi kewenangan khusus (pasal 103), tempat menjalani
rehabilitasi atas putusan hakim diatur
secara khusus (pasal 56 dan 58) tandasnya.
Penanggulangan masalah
penyalahgunaan narkotika diatur secara
khusus melalui 2 cara.
Cara pertama
tanpa dilakukan penegakan hukum,
penyalah guna diwajibkan UU
melakukan wajib lapor pecandu, status
pidananya demi hukum digugurkan
menjadi tidak dituntut pidana.
Cara
kedua melalui penegakan hukum
rehabilitatif yaitu penyalah guna
ditempatkan di rumah sakit atau
lembaga rehabilitasi selama proses
pemeriksaan, dan hakim diwajibkan UU menghukum rehabilitasi, jika terbukti
salah melakukan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika
Sejak Indonesia ber UU no 22 tahun
1997 kemudian diganti dengan UU no
35 tahun 2009 tentang narkotika
perkara narkotika diadili oleh
Pengadilan Negeri dan penyalah guna
dijatuhi hukuman penjara dan denda.
Maka sejak akibatnya
sejak itu Lapas mengalami
Over Kapasitas sampai sekarang, akibat lebih
jauh adalah meningkatnya deman
dan supply bisnis peredaran gelap
narkotika, dan terjadinya residivisme
dan terjadinya generasi pecandu pungkas Anang.**