Scroll untuk baca artikel
Banner Iklan Harianesia 325x300
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia 728x250
Hukum

Menguak Biang Kerok Keributan di Karaton Surakarta: SK Mendagri 2017 Disebut jadi Pemantik Perpecahan Besar!

×

Menguak Biang Kerok Keributan di Karaton Surakarta: SK Mendagri 2017 Disebut jadi Pemantik Perpecahan Besar!

Sebarkan artikel ini
Banner Iklan Harianesia 468x60

Jakarta – Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 430-2933 Tahun 2017 tertanggal 21 April 2017 kembali menjadi sorotan publik setelah dinilai sebagai pemantik utama perseteruan berkepanjangan di internal Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (KKSH). Dokumen negara yang dikenal sebagai SK Mendagri No. 430-2933 Tahun 2017 Tentang Penetapan Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta itu disebut telah menimbulkan tafsir keliru yang berimbas pada polemik suksesi kepemimpinan pasca wafatnya SISKS Pakoe Boewono XIII.

Menurut KP Sionit T. Martin Gea Pradatanagoro, selaku Penasihat Hukum sekaligus Juru Bicara SISKS Pakoe Boewono XIV, polemik bermula dari butir KELIMA SK Mendagri yang ditafsirkan seolah-olah di Karaton terdapat mekanisme Raja Ad-Interim, suatu konsep yang tidak pernah dikenal dalam tradisi, hukum adat, maupun struktur historis kepemimpinan Keraton Surakarta.

Banner Iklan Harianesia 300x600

Padahal, tegasnya, tidak ada satu pun kalimat atau frasa dalam SK tersebut yang menyebutkan adanya fungsi Raja Ad-Interim. Butir itu hanya mengatur fungsi Maha Menteri untuk mendampingi almarhum SISKS Pakoe Boewono XIII dalam pengelolaan Keraton. Namun penggunaan kata “mendampingi” telah menimbulkan pergeseran makna dan situasi faktual, karena dalam tradisi keraton sesuai butir 1.10 Nota Kesepahaman 22 Mei 2012, fungsi Maha Menteri adalah membantu, bukan mendampingi apalagi menggantikan fungsi Raja.

Baca Juga :  Proyek Rehabilitasi UPS Ratu Jaya : Anggaran Rp 149 Juta Diduga Dikorbankan Tanpa Pengawasan

“SK Mendagri 2017 itu bahkan tidak pernah dikonsultasikan atau dikomunikasikan terlebih dahulu kepada almarhum SISKS Pakoe Boewono XIII,” tegas KP Martin Gea.
Hal inilah yang kemudian memunculkan ketegangan, salah tafsir, hingga digunakan sebagian pihak sebagai dasar legitimasi kelompok tertentu pada masa transisi kepemimpinan.

Secara hukum administrasi pemerintahan, SK Mendagri merupakan beschikking, yakni keputusan tata usaha negara yang tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi sebagaimana diamanahkan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Namun faktanya, menurut analisis KP Martin Gea, butir KELIMA SK Mendagri tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Keputusan Presiden No. 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Surakarta.

Baca Juga :  Kemenkumham HUT ke-79, Sambut Dengan Gelar Layanan Publik se-Indonesia

“Tidak ada satu pun materi Pasal 2 Kepres 23/1988 yang memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mengatur mekanisme pendampingan Raja oleh Maha Menteri. Presiden saat itu hanya menetapkan status dan pengelolaan keraton sebagai cagar budaya, bukan mengubah struktur kepemimpinan tradisional,” jelasnya.

Ia menambahkan, UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah—termasuk seluruh perubahannya—juga tidak memberi mandat kepada Mendagri untuk mengubah atau mengatur struktur kepemimpinan internal Karaton Surakarta.

Menurut KP Sionit T. Martin Gea, pergeseran frasa dari “membantu” menjadi “mendampingi” itulah yang membuka celah konflik berkepanjangan. Bahkan disebut ikut mengganggu proses suksesi hingga naiknya raja baru, SISKS Pakoe Boewono XIV (sebelumnya KGPH Puruboyo/KGPAA Hamangkunegoro Sudibya Narendra Mataram).

“Seandainya saja butir KELIMA itu tidak dimasukkan, atau setidaknya tidak menggeser fungsi tradisional Maha Menteri, maka seluruh proses naik tahta PB XIV berlangsung adem ayem, penuh hikmat, dan selaras dengan tradisi adat Karaton Kasunanan Surakarta,” ujarnya.

Baca Juga :  Jejak Darah di Kampus Merah: Presisi yang Tersandera Atas Kematian Virendy Mahasiswa Fakultas Teknik Unhas 

Ia menilai bahwa momentum suksesi seharusnya menjadi masa persatuan seluruh keluarga dan masyarakat adat, bukan malah memicu pertikaian yang memperuncing hubungan antarpihak.

Di tengah menguatnya legitimasi SISKS Pakoe Boewono XIV sebagai raja baru Surakarta, KP Martin Gea menyampaikan perlunya evaluasi dan koreksi terhadap SK Mendagri No. 430-2933 Tahun 2017 agar tidak terus menjadi sumber salah tafsir dan konflik baru.

“Karaton adalah institusi adat yang sarat nilai sejarah. Negara semestinya melindungi, bukan menciptakan celah perpecahan melalui regulasi yang multitafsir,” pungkasnya.

Dengan demikian, polemik SK Mendagri 2017 bukan sekadar persoalan administratif, tetapi telah menjelma menjadi isu besar yang mempengaruhi kelangsungan tata adat, persatuan internal, hingga wibawa kepemimpinan Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Mariyo

Banner Iklan 1
Banner Iklan Harianesia 120x600