Scroll untuk baca artikel
Banner Iklan Harianesia 325x300
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia 728x250
Edukasi

Ketika “Siri” dan Hukum Terlupakan – Kisah Nenek Elina yang Menguji Nilai Kemanusiaan Kita

×

Ketika “Siri” dan Hukum Terlupakan – Kisah Nenek Elina yang Menguji Nilai Kemanusiaan Kita

Sebarkan artikel ini
Banner Iklan Harianesia 468x60

Surabaya – Bayangkan saja: seorang nenek berusia 80 tahun, yang seharusnya menghabiskan hari-harinya dengan damai di rumah yang telah menjadi tempat tinggalnya bertahun-tahun – tempat di mana dia menumbuhkan anak-anak, menyimpan kenangan indah, dan menjadi “pohon beringin” bagi keluarga. Tiba-tiba, pintu rumahnya dibanting terbuka oleh puluhan orang. Dia diserang, diusir dengan kekerasan (menyebabkan luka di hidung dan bibir), dan hanya bisa melihat dengan mata kepala bagaimana huniannya diratakan hingga tak tersisa. Barang-barang berharga, termasuk sertifikat rumah yang menjadi bukti kepemilikan, lenyap tanpa jejak. Itulah yang dialami nenek Elina Widjajanti di Surabaya – sebuah kisah yang tidak hanya beredar viral di sosial media, tetapi juga menusuk hati dan menguji dua hal yang fundamental di Indonesia: kearifan lokal yang mengajarkan rasa hormat dan ketegasan hukum yang harus melindungi yang lemah. Sebagai jurnalis yang telah meliput berbagai kasus kekerasan terhadap warga lemah selama dua dekade, saya harus berkata: ini bukan hanya kasus pelanggaran hukum – ini adalah kegagalan sistem yang seharusnya melindungi yang paling rentan.

Kisah nenek Elina yang pertama kali beredar melalui video di Instagram @cak_ji_1 dan menyebar ke TikTok, Facebook, serta media utama, telah memicu kemarahan publik yang luar biasa – dan itu sangat wajar. Apa yang terjadi padanya adalah bentuk kekerasan yang tak berperasaan, dilakukan oleh sekitar 50 oknum anggota Ormas Madas pada 6 Agustus 2025, dengan pembongkaran rumah yang menyusul pada 15 Agustus 2025 – semua tanpa putusan pengadilan, izin resmi, atau upaya menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum yang benar. Nenek Elina yang renta tampak trauma dalam video yang beredar, mencerminkan betapa dalam luka yang dia alami – bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Yang paling mengkhawatirkan: aksi ini dilakukan secara terarah dan terkoordinasi – bukan sekadar tindakan sembarangan. Ini menunjukkan adanya keberanian yang tidak wajar di balik oknum-oknum tersebut.

Banner Iklan Harianesia 300x600

Tindakan oknum ini adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai yang telah menjadi landasan kehidupan masyarakat Indonesia, terutama nilai “siri” yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Madura. Siri bukanlah sekadar rasa malu atau harga diri pribadi – melainkan prinsip yang mengajarkan perlindungan terhadap yang lemah, rasa hormat kepada lansia, dan penyelesaian konflik dengan cara yang damai dan adil. Seorang nenek, sebagai figur yang mewakili sejarah dan kebijaksanaan, seharusnya menjadi prioritas perlindungan – bukan sasaran kekerasan. Saya harus menegaskan: tindakan oknum Madas ini tidak hanya melanggar siri secara pribadi, tetapi juga merusak citra nilai-nilai luhur yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat. Ini adalah penghinaan terhadap warisan budaya Madura yang selama ini dikenal dengan rasa hormat kepada orang tua.

Baca Juga :  Peringati Hari Pahlawan, DPR RI Ajak Warga Banjarnegara Perangi Stunting sebagai "Musuh Tak Berseragam"

Sedangkan dari prespektif hukum di Indonesia, tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran serius terhadap berbagai aturan perundang-undangan, antara lain:

– Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Pasal 28G ayat (1): Menjamin hak setiap orang atas tempat tinggal yang layak dan keamanan pribadi – yang jelas dilanggar oleh pengusiran paksa dan pembongkaran rumah nenek Elina.
– Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 43: Menegaskan bahwa setiap orang berhak atas tempat tinggal dan tidak boleh dipisahkan dari tempat tinggalnya tanpa proses hukum yang sah.
– Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 170: Menghukum pengeroyokan yang dapat diancam dengan penjara paling lama 5 tahun 6 bulan – sesuai dengan tindakan puluhan oknum yang bersama-sama menyerang dan mengusir nenek Elina.
– KUHP Pasal 406 (sebelum perubahan) dan Pasal 521 KUHP Baru (berlaku tahun 2026): Menghukum pengrusakan barang milik orang lain dengan ancaman penjara paling lama 2 tahun 8 bulan (sebelum perubahan) atau 2 tahun 6 bulan ditambah denda hingga Rp200 juta (setelah perubahan) – sesuai dengan pembongkaran rumah dan kehilangan barang-barang nenek Elina.
– Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) Pasal 80: Menetapkan bahwa ormas yang melanggar hukum dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan hingga pencabutan izin. Pasal ini juga didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan UU Ormas yang mengatur ketat tentang tugas dan kewajiban ormas untuk memelihara ketertiban masyarakat.
– Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 106: Menyatakan bahwa pembongkaran bangunan hanya boleh dilakukan dengan izin tertulis dari pejabat yang berwenang – yang tidak dimiliki oleh oknum Madas saat menghancurkan rumah nenek Elina.

Baca Juga :  Plt. Kapolres Boyolali Pimpin Upacara Tabur Bunga Peringatan Hari Pahlawan di TMP Ratna Negara Boyolali

Di sinilah titik krusial, ada dugaan  saya: meskipun kasus telah dilaporkan ke Polda Jatim sejak 29 Oktober 2025, aparat tidak bertindak saat aksi pengusiran dan pembongkaran terjadi. Ini bukan hanya kelemahan – ini adalah pelanggaran tugas aparat penegak hukum yang seharusnya menjaga ketertiban dan melindungi warga. Mengapa mereka diam? Apakah ada tekanan yang mencegah tindakan? Pertanyaan ini harus dijawab secara transparan.

Kita harus bersyukur karena Wakil Wali Kota Surabaya Armuji segera turun tangan, mengecam tindakan tersebut, dan menjanjikan pendampingan serta bantuan hukum bagi nenek Elina. Ia juga mendesak pimpinan Madas untuk mengambil langkah internal menghukum pelaku – hal yang sangat penting untuk membuktikan bahwa ormas itu tidak mendukung tindakan oknumnya dan masih menghargai kearifan lokal serta hukum. Namun, kata-kata harus diikuti dengan tindakan. Pimpinan Madas harus menunjukkan bahwa mereka sungguh-sungguh membersihkan barisan – bukan hanya memberikan pernyataan pers yang hampa. Penting untuk dipahami bahwa tindakan sebagian orang tidak mewakili seluruh ormas atau masyarakat Madura, yang banyak memiliki orang baik yang tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Baca Juga :  Kepemimpinan Baru Perumda Tirtawening Kota Bandung Diharapkan Segar dan Bebas Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN)

Dan ini yang paling penting – sebagai jurnalis senior yang mewakili instituisi media yang tegas memegang prinsip keadilan: jangan sampai kasus nenek Elina hanya menjadi berita semata yang hilang seiring waktu. Kita tahu bahwa banyak juga peristiwa serupa yang dialami oleh nenek Elina, di alami juga oleh orang lain di berbagai belahan Indonesia – oleh oknum-oknum ormas lainnya yang menyalahgunakan kekuasaan dan mengganggu ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, melakukan langkah-langkah hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu dalam menertibkan oknum-oknum ormas tersebut – mengacu pada semua aturan perundang-undangan yang telah disebutkan. Tidak ada alasan apapun untuk membiarkan mereka berani melanggar hukum dan menyakiti yang lemah. Hukum harus berlaku sama bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang atau nama ormas yang mereka yakini. Saya berani katakan: jika aparat penegak hukum tidak bertindak tegas sekarang, maka kita sedang membangun generasi yang percaya bahwa kekerasan dapat lolos dari hukuman – dan itu adalah bahaya bagi keberadaan negara yang berdasarkan hukum. Hanya dengan ketegasan penegak hukum, kita bisa melindungi hak setiap warga dan menjaga martabat negara yang berdasarkan hukum dan kemanusiaan.

Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas),Jurnalis Senior, Pewarna Indonesia

Banner Iklan 1
Banner Iklan Harianesia 120x600