Scroll untuk baca artikel
Banner Iklan Harianesia 325x300
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia 728x250
Edukasi

Enam peristiwa sepanjang tahun: aturan yang seharusnya menyatukan, malah membuat jemaat merasa “tidak punya tempat” di negaranya sendiri

×

Enam peristiwa sepanjang tahun: aturan yang seharusnya menyatukan, malah membuat jemaat merasa “tidak punya tempat” di negaranya sendiri

Sebarkan artikel ini
Banner Iklan Harianesia 468x60

Jakarta, 27 Desember 2025 – Rasa aman adalah dasar dari keberadaan sebuah negara. Tapi bagi umat Kristen sepanjang 2025, rasa itu semakin mencair – hancur oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri (Agama dan Dalam Negeri). Apa yang dirancang sebagai pelindung kerukunan dan Bhinneka Tunggal Ika, malah berubah menjadi sumber ketakutan. BKAG memandangnya telah menyimpang dari semangat konstitusi, kerap dijadikan alat pembenaran oleh oknum dan kelompok intoleran untuk menekan hak beribadah – dengan enam peristiwa yang menjadi bukti bahwa jemaat merasa “tidak punya tempat” di negaranya.

Berikut adalah enam peristiwa yang dicatat BKAG sebagai bukti bagaimana SKB 2 Menteri merusak rasa aman umat Kristen:

Banner Iklan Harianesia 300x600

1. Garut (Awal Agustus): Rumah Doa Immanuel – “Tempat Kita” Menjadi “Tempat Terlarang”

Pemerintah daerah Garut dan tokoh masyarakat menghentikan aktivitas ibadah di Rumah Doa Immanuel, Caringin – alasan: “belum memenuhi SKB 2 Menteri”. Tanpa penjelasan detail, jemaat yang telah mempercayai tempat itu sebagai “rumah kedua” merasa dikucilkan – rasa aman yang dibangun bertahun-tahun hancur dalam sekejap.

2. Padang (27 Juli): Rumah Doa GKSI – “Tempat Damai” Menjadi “Tempat Kekerasan”

Ibadah di rumah doa GKSI diserbu massa dengan kekerasan – kursi hancur, jemaat dipaksa keluar dengan ancaman fisik. Aparat mengakui “kekhawatiran izin SKB 2 Menteri” sebagai pemicu – tempat yang seharusnya penuh damai berubah menjadi medan perang. Rasa aman yang seharusnya dilindungi negara malah tergantikan oleh ketakutan.

Baca Juga :  Semangat Kepramukaan, Menjadi Insan Pemasyarakatan yang Berkarakter

3. Sukabumi (Juni): Retret Pelajar – “Ruang Berbagi” Menjadi “Ruang Dilarang”

Kegiatan retret pelajar di Kampung Tangkil dibubarkan warga yang bersikeras “butuh izin SKB 2 Menteri”, meskipun hanya “rumah singgah”. Properti dirusak, peserta diusir – anak muda yang ingin berbagi keyakinan merasa “tidak diizinkan hidup” sesuai keyakinannya.

4. Bekasi (Desember): Gereja HKBP – “Hari Raya” Menjadi “Hari Kecewa”

Jemaat HKBP menghadapi “dinding manusia” saat mau merayakan Natal, dengan alasan “izin SKB 2 Menteri belum lengkap”. Tanpa perintah aparat, warga mengambil alih wewenang – momen bahagia berubah menjadi momen keterasingan. Rasa aman di hari sendiri pun hilang.

5. Bogor (6 Desember): Gereja St. Vincentius – “Jejak Sejarah” Menjadi “Jejak yang Harus Hilang”

Kelompok masyarakat menyerukan pembongkaran Gereja St. Vincentius (berdiri sejak 1980-an) karena “tidak ada izin renovasi SKB 2 Menteri”. Meskipun telah menjadi bagian dari kota Bogor puluhan tahun, jemaat merasa jejak sejarah mereka “tidak pantas ada” – rasa aman tentang masa depan mereka terancam.

Baca Juga :  Munandar Lurah Peninggilan Kec.Ciledug : Momen HUT RI Ke 79, Semoga Menambah Wawasan Kebangsaan Pada Generasi Muda

6. Depok (24–25 Desember): Misa Natal – “Momen Kasih” Menjadi “Momen Pembatalan”

Rencana Misa Natal di Wisma Sahabat Yesus dibatalkan pemerintah karena “perizinan SKB 2 Menteri” demi “ketertiban”. Keputusan ini menuai kritik – mengapa momen untuk menyebarkan kasih harus dibatalkan hanya karena aturan yang kaku? Rasa aman bahwa negara menghargai keyakinan mereka hilang sepenuhnya.

Semua titik lemah ini memperkuat pandangan BKAG bahwa SKB 2 Menteri telah menyimpang dari Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 – yang secara tegas menjamin kebebasan beragama tanpa pembedaan. Pada praktiknya, aturan ini bukan lagi pelindung, melainkan alat yang membuat minoritas merasa tidak dihargai. Pemantauan lembaga HAM juga mengkonfirmasi kasus serupa masih terjadi, membuat tindakan segera menjadi kebutuhan mendesak.

Dengan dasar bukti ini, BKAG mendorong Presiden Republik Indonesia untuk bertindak tegas:
“Kita tidak hanya mengajak meninjau ulang – kita mendorong Presiden untuk mencabut SKB 2 Menteri dan merumuskan kebijakan baru yang lebih adil, konstitusional, dan berorientasi pada perlindungan hak semua warga,” ujar Pdt. Dr. Maruba Sinaga, SH., MH., Ketua Umum BKAG.

Baca Juga :  PWNU Jawa Barat Dukung Penuh Polda Jabar Berantas Judi dan Premanisme: Saatnya Semua Pihak Bergerak!

Sebagai solusi jangka panjang, BKAG mengusulkan pembentukan unit atau kementerian agama yang setara:

1. Kementerian Agama Islam,
2. Kementerian Agama Kristen,
3. Kementerian Agama Katolik,
4. Kementerian Agama Budha,
5. Kementerian Agama Hindu,
6. Kementerian Agama aliran Kepercayaan.

Semua akan berada di bawah satu Menteri Koordinator, dengan prinsip koordinasi mirip sistem pertahanan – agar pelayanan negara setara dan profesional.
“Tujuan akhirnya: agar negara benar-benar pulihkan rasa aman bagi semua warga, jaga semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan menjadi penjamin keadilan – tanpa membiarkan konstitusi dilemahkan. Biarkan umat Kristen merasa ‘punya tempat’ di negaranya sendiri!” tegas Maruba.

Kaleidoskop 2025 bukan hanya catatan peristiwa, melainkan momen untuk menyadari bahwa rasa aman adalah pondasi Bhinneka Tunggal Ika. Kerukunan sejati tidak lahir dari aturan yang membuat orang merasa keterasingan, melainkan dari rasa aman yang dirasakan semua warga – tanpa memandang agama atau status. BKAG yakin bahwa dengan tindakan Presiden yang tegas, rasa aman bisa pulih dan Indonesia bisa kembali menjadi negara yang memeluk semua keberagaman.

(jurnalis Tim Pewarna)
(editor Romo Kefas)
Sumber: Pdt. Dr. Maruba Sinaga, SH., MH., Ketua Umum BKAG

Banner Iklan 1
Banner Iklan Harianesia 120x600