Scroll untuk baca artikel
Banner Iklan Harianesia 325x300
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia floating
Banner Iklan Harianesia 728x250
Edukasi

Kado Tahun Baru PDI PERJUANGAN DIY: Nepotisme, Pembodohan, Dan Pembangunan Oligarki Internal

×

Kado Tahun Baru PDI PERJUANGAN DIY: Nepotisme, Pembodohan, Dan Pembangunan Oligarki Internal

Sebarkan artikel ini
Banner Iklan Harianesia 468x60

Tahun baru seharusnya menjadi momentum koreksi ideologis bagi partai yang mengklaim diri sebagai rumah kaum marhaen. Namun yang terjadi di PDI Perjuangan DIY justru sebaliknya: kader disuguhi “kado politik” berupa praktik nepotisme yang dilembagakan, pembodohan struktural terhadap basis akar rumput, serta konsolidasi kekuasaan yang hanya menguntungkan keluarga dan kroni pengurus.

Dalam praktiknya, kerja-kerja politik kader di lapangan—yang menguras tenaga, waktu, dan loyalitas—tidak lagi bermuara pada cita-cita ideologis partai, melainkan pada akumulasi kapital politik dan ekonomi segelintir elite. Kader dijadikan alat mobilisasi elektoral, bukan subjek perjuangan. Mereka bekerja, yang panen adalah keluarga pengurus. Mereka bergerak, yang menikmati rente adalah lingkar dalam kekuasaan.

Banner Iklan Harianesia 300x600

Apa yang terjadi di DIY bukan sekadar penyimpangan moral individual, melainkan sudah menjadi sistem kekuasaan oligarkis, sebagaimana dijelaskan Robert Michels dalam Iron Law of Oligarchy: setiap organisasi yang tidak diawasi secara demokratis akan cenderung dikuasai oleh segelintir elite yang mempertahankan kepentingannya sendiri.

Baca Juga :  Sosialisasi Pembangkit Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di Kecamatan Sukadiri

Dalam konteks ini, struktur partai berubah fungsi—dari alat perjuangan rakyat menjadi mesin reproduksi kekuasaan keluarga dan kroni. Rekrutmen kader bukan berbasis merit, loyalitas ideologis, atau kapasitas politik, tetapi kedekatan personal dan kepentingan elektoral jangka pendek.

Pembodohan Kader sebagai Strategi Kekuasaan
Paulo Freire menyebut kondisi ini sebagai banking education politik: kader hanya “diisi”, diperintah, dan digerakkan tanpa ruang berpikir kritis. Kader tidak dididik menjadi subjek politik, melainkan dijinakkan agar patuh. Kritik dianggap pembangkangan. Kesetiaan diukur dari kemampuan diam dan tunduk.
Akibatnya, partai kehilangan daya reflektifnya. Tidak ada koreksi internal. Tidak ada dialektika. Yang ada hanyalah barisan loyalis yang bekerja dibayar tanpa kuasa menentukan arah, sementara elite menikmati hasilnya.

Baca Juga :  Ngobar SWI : Pemkot Depok Dorong Pelayanan Terintegrasi yang Mudah Diakses Masyarakat

Menuju 2029: Mesin Politik Tanpa Jiwa

Jika pola ini dipertahankan hingga Pemilu 2029, maka kemenangan elektoral—jika pun tercapai—akan bersifat semu. Partai mungkin menang kursi, tetapi kalah secara ideologis. Menang angka, namun kehilangan ruh perjuangan.
Kader dan simpatisan akan terus dijadikan sapi perah politik: diperah energinya saat pemilu, ditinggalkan setelah kekuasaan diraih.

Baca Juga :  Musyawarah Khusus IAKI Di Bandung Tetapkan Ir Herri Suryadi Samosir Sebagai Ketum IAKI Periode 2025-2030

Sementara itu, lingkar elite akan terus mengonsolidasikan kekayaan dan pengaruh dengan mengatasnamakan “kepentingan partai”.

Penutup:
Saatnya Melawan dari Dalam
Kritik ini bukan bentuk pembangkangan, melainkan panggilan ideologis. Partai yang besar lahir dari keberanian melakukan otokritik. Jika PDI Perjuangan ingin tetap relevan sebagai partai wong cilik, maka praktik nepotisme dan pembodohan kader harus dihentikan.
Tanpa itu, partai ini bukan lagi alat perjuangan rakyat—melainkan korporasi politik keluarga yang menumpang di atas kerja keras kadernya sendiri.

Shelabata
Fokki “Che” Ardiyanto

Oleh : Antonius Fokki Ardiyanto S.IP

Banner Iklan 1
Banner Iklan Harianesia 120x600