Bogor, 30 Desember 2025 – Bayangkan kamu berdiri di tepi sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Airnya deras, membawa harapan dan keinginan masyarakat akan kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan yang sesungguhnya itu adalah arus perubahan yang hidup dalam politik Indonesia. Tapi lihatlah: di sepanjang jalurnya, ada batu-batu besar yang membuat ombak bergelombang ganas. Dan yang paling membuat kita khawatir: ada kapal-kapal yang mau balik ke pantai kapal yang takut mengikuti arus, yang ingin kembali ke sistem lama di mana rakyat hanyut sebagai penonton, bukan pemilik kekuasaan. Ini bukan cuma cerita fiksi — ini adalah dinamika yang kita rasakan setiap hari, dan analisisnya jauh lebih dalam dari sekadar “partai ini menang, partai itu kalah”.
Ada pribahasa Jawa yang tepat banget menggambarkan semua ini: “Gagang kayu, gagang besi, sing penting nyopir”. Artinya, apa pun alat yang kamu gunakan — entah yang sederhana kayak kayu atau yang kuat kayak besi — yang paling penting adalah siapa yang mengemudikan. Apakah dia mau mengikuti arus perubahan, atau malah mau balik ke pantai yang aman tapi ketinggalan zaman? Ini filosofi yang mendalam: struktur dan label bukan segalanya. Yang menentukan adalah niat, keahlian, dan arah dari yang memegang kendali. Dan di balik semua itu, ada undang-undang dan peraturan yang seharusnya jadi “peta navigasi” ke arah yang benar tapi seringkali terabaikan atau disesuaikan agar menguntungkan si nyopir yang malas berubah. Bahkan ada keinginan tersembunyi yang lebih ekstrem: mengembiri kedaulatan rakyat dengan tidak melibatkan suara mereka, dan memindahkan pemilukada ke tangan DPRD saja.
Yang paling menyakitkan adalah elitisme — batu besar terbesar yang menghalangi arus perubahan. Banyak figur politik menduduki posisi bukan karena kapasitas atau dukungan rakyat, tapi karena hubungan rahasia atau kepentingan kelompok yang tersembunyi. Tapi yang lebih parah: mereka jadi kapal yang mau balik ke pantai — ingin menghilangkan peran rakyat sepenuhnya dengan memindahkan pemilukada dari suara langsung ke tangan DPRD.
Di sini, Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya jadi pondasi yang tak tergoyahkan: Pasal 1 mengatakan “kedaulatan berdaulat di tangan rakyat”, dan Pasal 22E mengatur hak memilih secara langsung, jujur, dan adil. Bahkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Tahun 2016 juga menegaskan bahwa rakyat harus jadi pemilih utama. Tapi ketika partai mau balik ke pantai dan memindahkan pemilukada ke DPRD, mereka menyia-nyiakan semua itu — kedaulatan rakyat hanyut jadi kata-kata kosong, dan DPRD cuma jadi alat untuk menentukan calon yang sesuai dengan kepentingan partai.
Saat instituisi gagal memisahkan kepentingan pribadi dan publik, “izin” memerintah tak lagi datang dari rakyat, tapi dari “kelompok dalam” yang mengendalikan sumber daya. Seseorang bisa tergeser bukan karena kalah demokratis, tapi karena tak lagi “sesuai” dengan kelompok yang mau balik. Politik jadi seperti permainan catur yang cuma dimainkan oleh sedikit orang — sedangkan rakyat cuma nonton dari jauh. Pribahasa itu kembali bergema: apa gunanya “gagang besi” yang kuat jika si nyopir cuma mengemudi untuk diri sendiri dan mengembiri yang seharusnya jadi pemilik kapal?
Kefas Hervin Devananda,S.Th., M.Pd.K (Romo Kefas)
Di tengah arus perubahan, selalu ada kapal baru — partai yang datang dengan bendera “perubahan” dan “wajah baru”. Kadang mereka benar-benar bawa angin segar: mengangkat isu-isu yang dulu terabaikan (ketimpangan, hak minoritas, keberlanjutan), dan memberi kesempatan buat kader muda yang tak punya jalan masuk ke jalur lama. Tapi banyak dari kapal baru ini ternyata juga mau balik ke pantai — terlihat menarik di permukaan, tapi tak tahan saat ombak ganas. Bahkan mereka ikut mendukung gagasan memindahkan pemilukada ke DPRD untuk mengembiri kedaulatan rakyat.
Mengapa? Karena mereka cuma ganti baju dari kapal lama. Dan di balik itu, Undang-Undang Partai Politik Tahun 2008 seharusnya jadi “pembatas” — mengatur demokratisasi internal, transparansi keuangan, dan pendidikan politik untuk mencegah partai jadi perpanjangan tangan elite. Tapi dalam kenyataan, banyak partai (baru maupun lama) cuma mengikuti aturan secara formal: pilih calon internal yang tidak demokratis, sebarkan informasi satu sisi, bahkan dukung penghapusan suara rakyat — semuanya untuk memastikan calon yang diinginkan partai menang, bukan yang dipilih rakyat.
Di sisi lain, kapal lama yang punya pengalaman seringkali terjebak di pantai: tak mau bergerak mengikuti arus, tak mau ubah sistem, cuma andalkan jaringan lama yang usang. Mereka lupa bahwa “pengalaman” cuma berharga jika bisa diadaptasi — bukan jika cuma dipakai untuk mempertahankan kekuasaan dan jadi kapal yang mau balik. Pribahasa itu tetap relevan: gagang kayu atau besi tidak masalah — yang penting si nyopir tahu arah mana yang benar, mengikuti arus perubahan, dan tidak mengorbankan kedaulatan rakyat.
Yang paling penting — dan seringkali terlewatkan — adalah peran rakyat sebagai “pelayang”. Kadang mereka diam, seolah tak peduli. Tapi ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi — harga barang naik, korupsi merajalela, keadilan tak ada, atau hak memilih ingin diambil — mereka bisa tiba-tiba mengubah arah arus dan mencegah kapal dari kembali ke pantai.
Ini yang membuat politik Indonesia selalu tak terduga. Meskipun ada struktur yang kaku, yang sebenarnya menentukan arah adalah gaya angin dari keinginan masyarakat yang mau perubahan. Saat rakyat memutuskan untuk naik ke kapal baru yang benar-benar mengikuti arus, atau mendorong kapal lama ke tengah sungai, tak ada yang bisa menahannya. Dan ini dijamin oleh Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan Tahun 2013 yang mengizinkan masyarakat bikin organisasi untuk sampaikan aspirasi dan pantau pemerintah serta partai yang mau balik ke pantai.
Masalahnya: apakah instituisi politik sudah matang cukup untuk menampung keinginan perubahan itu? Atau akan terus jadi batu besar yang menghalangi? Di sinilah inti filosofi pribahasa itu terletak: si nyopir tidak bisa mengemudi bebas, mengembiri kedaulatan, atau memindahkan pemilukada ke DPRD jika pelayang yang menopang kapal itu memutuskan untuk mengubah arah.
Politik Indonesia bukan cuma “arung jeram” yang tak terkontrol. Ia adalah kombinasi dari batu-batu besar (elitisme), kapal baru dan lama yang mau balik (partai yang mengembiri kedaulatan), dan pelayang yang kuat (rakyat yang mendorong perubahan). Yang membuatnya menarik — dan perlu dianalisis dengan kritis — adalah bagaimana ketiga elemen ini saling berinteraksi, dengan undang-undang sebagai peta yang seharusnya memandu ke arah yang benar.
Institusi politik yang matang seharusnya jadi pelampung yang bantu kapal menavigasi ombak, bukan batu besar yang menghalangi. Ia harus jamin persaingan demokratis adil, kepentingan publik lebih penting dari pribadi, dan rakyat benar-benar jadi pemilik kekuasaan — semuanya yang sudah tertuang dalam undang-undang kita. Tanpa itu, kita akan terus berputar di lingkaran yang sama: kapal baru jadi kapal lama, elitisme terus berlanjut, dan kedaulatan rakyat terus diembiri di ujung tangan.
Dan seperti yang dikatakan pribahasa Jawa itu: “Gagang kayu, gagang besi, sing penting nyopir” semuanya kembali pada siapa yang mengemudikan, dan apakah dia mau mengikuti peta untuk membawa kita ke arah perubahan yang benar, tanpa mengorbankan kedaulatan rakyat yang seharusnya tak tergoyahkan.
Ditulis oleh Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) Jurnalis Senior Pewarna Indonesia




















