Ketika lembaga pendidikan di bawah Kemenag bungkam atas dugaan pungli, publik menuntut transparansi dan penegakan hukum
Bogor, 29 Oktober 2025 | Harianesia.com_Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Bogor kembali menjadi sorotan. Upaya konfirmasi awak media terhadap pihak madrasah belum mendapat jawaban tegas, memperkuat kesan bahwa lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama (Kemenag) ini memilih bungkam di tengah kritik publik.
Awak media telah mengirimkan pesan konfirmasi resmi melalui WhatsApp kepada Hilman, staf humas MAN 1 Bogor, dengan mempertanyakan sikap resmi pihak madrasah terhadap dugaan pungli yang telah diberitakan sebelumnya.
Pesan yang dikirim berbunyi:
“Assalamu’alaikum Wr. Wb. Mohon izin, Pak. Bagaimana tanggapan dari Waka Humas maupun Ibu Kepala Madrasah terkait hal yang sebelumnya telah kita bahas bersama? Sebagaimana informasi tersebut juga telah kami sampaikan ke publik, dan tautan beritanya sudah kami kirimkan kemarin. Terima kasih atas perhatian dan tanggapannya.”
Namun, jawaban yang diterima jauh dari harapan publik akan transparansi. Hilman menjawab:
“Belum ada arahan lagi dari Bu Humas dan Bu Kamad. Hari ini saya ngajar full di kampus 2 nih abangku. Sepertinya lagi pada fokus TKA. Bu Humas juga sedang di Kampus 2 tapi beliau lagi jadi proktor TKA di ruang lab. Mungkin sedang fokus TKA dan kegiatan madrasah, Pak. Kalau kemarin beliau katakan siap pertemuan berikutnya, mungkin hanya menunggu waktu senggang. Mohon izin barangkali itu persepsi saya. Izin saya isi kelas dahulu 🙏.”
Jawaban itu dinilai tidak substantif dan mengabaikan tanggung jawab publik lembaga pendidikan yang dibiayai oleh negara. Publik pun mempertanyakan komitmen Kemenag dalam menegakkan integritas dan akuntabilitas lembaga pendidikan Islam negeri.
Menanggapi sikap pasif MAN 1 Bogor, Praktisi hukum, Andi Faisal, S.H., M.H., menilai bahwa bungkamnya pihak madrasah merupakan bentuk pembiaran atas dugaan pelanggaran etik dan hukum.
“Ketika lembaga pendidikan negeri diam menghadapi dugaan pungli, itu bukan netralitas itu pembiaran. Dan pembiaran terhadap pelanggaran adalah bentuk pelanggaran itu sendiri,” tegas Andi Rabu (29/10).
Menurutnya, Kementerian Agama tidak boleh menutup mata. Dunia pendidikan madrasah harusnya menjadi contoh moral dan transparansi publik, bukan justru ikut tenggelam dalam praktik yang mencoreng nama baik institusi.
“Kemenag harus segera turun tangan. Jangan sampai lembaga pendidikan negeri dijadikan ajang pungutan tanpa dasar. Ini bukan hanya persoalan etik, tapi juga potensi pidana,” ujarnya.
Secara hukum, setiap bentuk pungutan di sekolah negeri harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, serta Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 yang menegaskan bahwa satuan pendidikan negeri dilarang melakukan pungutan yang bersifat wajib atau memaksa.
Lebih jauh, praktik pungli juga bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebut:
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta.”
Andi Faisal menegaskan, “Jika dugaan pungutan itu terbukti, maka unsur pasal dalam UU Tipikor jelas terpenuhi. Aparat penegak hukum, termasuk Inspektorat Jenderal Kemenag, harus segera turun untuk memeriksa.”
Kasus ini bukan pertama kalinya mencoreng wajah pendidikan madrasah di bawah Kemenag. Lemahnya pengawasan, minimnya transparansi, dan kecenderungan diam dari pihak sekolah menimbulkan kesan bahwa pungli telah menjadi praktik sistemik yang dianggap “biasa”.
Publik kini menunggu apakah Kementerian Agama Kabupaten Bogor maupun Kanwil Kemenag Jawa Barat berani mengambil langkah tegas, atau justru memilih menutup mata dengan dalih “urusan internal madrasah”.
“Kita bicara soal kepercayaan publik. Kalau madrasah negeri saja tidak berani transparan, bagaimana mungkin kita bicara pendidikan berakhlak?” tutup Andi Faisal.(HR)




















