JAKARTA_HARIANESIA.COM_Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali melanjutkan program Desa Siap Siaga Nasional sebagai upaya pencegahan dini terhadap paham radikalisme. Acara digelar di Kelurahan Sukabumi Indah, Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung, pada Rabu (24/9/2025).
Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, mengemukakan gagasan penting untuk melawan radikalisme dengan: mengintegrasikan pendidikan filsafat ke dalam kurikulum sekolah dan pesantren.
“Mayoritas pelajar yang terpapar intoleransi, radikalisne dan terorisme sumbernya adalah berita dari media sosial. Para pelajar itu tidak punya kemampuan menyaring berita yang diterima, sehingga ditelan mentah mentah yang mengakibatkan terbawa arus radikalisme,” kata Ken Setiawan.
Ken Setiawan menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya kasus pelajar yang terpapar paham radikal. Ia menyebutkan, ada beberapa pelajar yang bahkan ditangkap Densus 88 karena berafiliasi dengan jaringan terorisme, bahkan berencana meledakkan kantor polisi.
Selain itu, Ken juga menyoroti kasus-kasus diskriminasi dan intoleransi yang masih sering terjadi di lingkungan sekolah dan pesantren.
“Saya prihatin, sampai hari ini masih ada diskriminasi dan intoleransi dalam dunia pendidikan kita, dan intoleransi itu adalah pintu gerbang orang menjadi radikal dan terorisme,” ujar Ken.
Menurutnya, masalah ini bisa dicegah dengan mengajarkan filsafat sejak dini.
Pendidikan filsafat dinilai dapat membentuk pribadi yang berempati, jujur, bertanggung jawab, dan memiliki karakter yang kuat.
Ken menjelaskan, orang yang terbiasa berpikir filosofis tidak akan mudah termakan berita bohong atau hoaks. Cara berpikir kritis akan mendorong mereka untuk selalu mempertanyakan kebenaran, menguji sumber, dan menganalisis tujuan dari penyebaran informasi.
“Filsafat akan membantu kita untuk tidak langsung percaya terhadap berita yang kita terima, selalu mencari dasar kebenaran, serta memahami dampak dari informasi yang diterima,” katanya.
Ia menambahkan, filsafat pada dasarnya adalah “induk dari segala ilmu” yang melatih pemikiran kritis, logis, dan metodologis.
Di tingkat dasar, filsafat bisa diajarkan melalui pertanyaan sederhana seperti “kenapa” dan “bagaimana” dalam kehidupan sehari-hari, diskusi tentang nilai moral, atau permainan peran.
Enam Tahapan Berpikir Filosofis dalam Pendidikan
Ken Setiawan menguraikan enam tahapan berpikir filosofis dalam dunia pendidikan yang dapat dicapai secara bertahap yakni menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan inovasi.
Sayangnya, menurut Ken, level pendidikan di Indonesia masih sering terjebak pada tahap pertama, yaitu menghafal. Akibatnya, siswa cenderung menafsirkan informasi secara dangkal dan mudah menghakimi tanpa melalui proses analisis.
Ia mencontohkan, banyak pelajar yang salah menafsirkan makna “kafir” dalam kitab suci, sehingga melarang diri mereka berteman dengan orang yang berbeda agama.
Ken yakin, memasukkan filsafat ke dalam kurikulum akan memiliki manfaat signifikan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis, membentuk karakter, dan meningkatkan pemahaman siswa tentang diri sendiri serta dunia di sekitar mereka.
“Filsafat juga membantu siswa untuk merangsang imajinasi, empati, dan kreativitas, serta mempersiapkan mereka menghadapi tantangan masa depan dengan lebih baik,” pungkas Ken.