Depok_HARIANESIA.COM_5 September 2025, Publik kembali dibuat geram dengan munculnya bangunan permanen di bawah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yang berlokasi di samping RPH Tapos, Kota Depok. Proyek bernilai Rp4 miliar bersumber dari Provinsi Jawa Barat ini kian memicu tanda tanya besar, bukan hanya karena status izinnya yang belum jelas, tetapi juga lantaran lemahnya respon para wakil rakyat di DPRD Kota Depok.
Tim media ini pada Kamis (4/9) mencoba meminta klarifikasi dari beberapa anggota DPRD Kota Depok Komisi A. Namun, alih-alih memberikan penjelasan tegas, jawaban yang muncul justru terkesan gamang, saling lempar, bahkan seakan tidak mengetahui keberadaan proyek yang sudah berdiri kokoh sejak November 2024 lalu.
Ir. HTM Yusufsyah Putra, M.Si, ketika ditanya mengenai tanggapan, hanya menjawab singkat: “Gedung apa ini Mas…? Dan gak ditanyakan gedung peruntukan untuk apa?” tulisnya dalam pesan WhatsApp. Saat dikonfirmasi lebih lanjut, ia bahkan tidak memberikan keterangan lagi.
Sikap serupa juga ditunjukkan Gerry Wahyu Riyanto, SH, MH. Alih-alih menjawab, ia hanya menyarankan agar media menyampaikan pertanyaan langsung ke Ketua Komisi A. Sementara itu, H. Edi Masturo, SE berdalih baru mengetahui adanya pemberitaan terkait proyek itu. Ia berjanji akan melakukan cross-check ke dinas terkait setelah hari kerja efektif.
Jawaban-jawaban normatif dan terkesan cuci tangan tersebut justru memunculkan kecurigaan publik: bagaimana mungkin para wakil rakyat yang digaji dari uang rakyat bisa sama sekali tidak tahu menahu tentang proyek bernilai miliaran rupiah yang berdiri di wilayah sendiri?
Apalagi, sejak awal pembangunan, harianesia.com dan media online lainnya telah menyoroti proyek ini melalui laporan berjudul “Misteri Gedung di Bawah SUTET: Pelaksana Bungkam, Proyek Diduga Tanpa Izin?”. Bahkan, hingga September 2025, status izin masih belum jelas, sebagaimana diberitakan dalam laporan terbaru: “Izin Tak Kunjung Terbit, Proyek Gedung di Bawah SUTET Depok Diduga Ilegal: DKP3 Dinilai Plin-Plan”.
Ketua DPD Jawa Barat LSM Indonesia Morality Watch, Edwar, menilai kasus ini bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi sudah mengarah pada dugaan pelanggaran serius.
“Proyek ini jelas janggal. Bagaimana bisa pekerjaan senilai Rp4 miliar dikerjakan tanpa kejelasan izin? Ini bukan persoalan teknis semata, tapi sudah menyentuh ranah akuntabilitas dan dugaan pemborosan anggaran. DPRD tidak boleh hanya pura-pura tidak tahu. Jika mereka benar-benar tidak tahu, itu sama saja menunjukkan fungsi pengawasan mereka gagal total,” tegas Edwar.
Lebih lanjut, Edwar menambahkan bahwa bangunan di bawah SUTET berpotensi membahayakan keselamatan masyarakat. “Bangunan di bawah jalur SUTET punya risiko tinggi. Jika izin saja tidak jelas, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang membahayakan publik? Ini bentuk nyata dari praktik pembangunan ugal-ugalan yang mengabaikan aturan dan keselamatan warga,” kritiknya.
Sementara itu, praktisi hukum Andi Faisal, SH, MH, C.C.D.,C Med, menilai proyek tersebut berpotensi melanggar hukum. “Kalau benar izin tidak ada, ini bisa masuk kategori maladministrasi hingga dugaan tindak pidana korupsi dalam penggunaan anggaran. DPRD punya hak budgeting sekaligus controlling. Jika fungsi itu tidak berjalan, berarti ada pembiaran yang mencederai prinsip good governance dan clean governance,” jelasnya.
Dari sisi tata ruang, akademisi Universitas Indonesia bidang Perencanaan Kota, Retno menegaskan bahwa pembangunan di bawah jalur SUTET tidak bisa sembarangan. “Ada ketentuan jarak aman minimal di bawah jaringan SUTET. Kalau bangunan permanen berdiri di sana tanpa kajian AMDAL dan izin teknis yang sah, maka itu berbahaya. Bukan hanya menyalahi tata ruang, tapi juga bisa mengancam keselamatan jiwa,” paparnya.
Ketika dimintai tanggapan, Kepala DKP3 Kota Depok, Ir. Widyati Riyandani, justru menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan penuh untuk menilai aman atau tidaknya bangunan tersebut. “Lokasi itu kan berada langsung di bawah jaringan SUTET, sehingga aspek keamanan dan kepantasan harusnya domain pihak PLN. Kami di DKP3 hanya sebatas pengguna anggaran kegiatan dari provinsi. Jadi silakan tanyakan lebih lanjut ke pihak PLN Gantul Depok terkait izin teknis dan risiko keselamatannya,” ujarnya.
Pernyataan Widyati tersebut menuai kritik karena dinilai sebagai bentuk lempar tanggung jawab. Pasalnya, proyek ini tetap berjalan di bawah koordinasi dinas yang ia pimpin, tanpa kejelasan izin dan tanpa kepastian tata ruang.
Publik kini menuntut transparansi dan akuntabilitas. Bagaimana bisa proyek yang dikerjakan CV. Raja Bangun Pradana dengan konsultan pengawas PT. Kohesif Mitra Solusindo tetap berjalan tanpa kepastian izin? Apakah ada pembiaran, atau bahkan permainan di balik layar?
Kelemahan pengawasan legislatif, kebingungan dinas teknis, dan sikap plin-plan pemerintah justru semakin memperkuat dugaan adanya ketidakberesan serius dalam proyek ini. Bila benar tak berizin, maka proyek Rp4 miliar ini bukan sekadar melanggar aturan tata ruang, melainkan juga bentuk nyata pemborosan uang rakyat yang mencederai kepercayaan publik.